Jadi inisiatif-inisiatif pribadi untuk melakukan kodifikasi dan penulisan Hadis sudah ada sejak zaman Rasul, meskipun perintah resminya baru terjadi masa masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Perlu diketahui di sini bahwa penggunaan kata kodifikasi itu sendiri mengandung makna yang masih bias, karena sering dimaknai sebagai proses penulisan.

Pada masa ini, hadis-hadis Nabi mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi oleh Umar ibn Abdul Aziz, salah seorang khalifah dari Dinasti Umayyah. Mulai memerintah di penghujung abad pertama Hijriyah, merasa perlu untuk mengambil langkah-langkah bagi penghimpunan, dan penulisan hadis nabi secara resmi, yang selama ini berserakan di dalam catatan dan hafalan para sahabat dan tabi’in. Hal tersebut dirasakannya begitu mendesak karena pada masa itu wilayah kekuasaan Islam telah meluas, sampai ke daerah-daerah di luar Jazirah Arab. Di samping itu, para sahabat yang hafal dan mencatat hadis Nabi, bahkan menjadi rujukan ahli hadis sebagian besar telah meninggal dunia, karena faktor usia dan akibat banyaknya terjadi peperangan. Ini semua merupakan gambaran dari keadaan awal pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz, dan tentunya hadis masih belum dibukukan secara resmi. Nawir Yuslem, dalam bukunya Ulum al-Hadis menjelaskan bahwa, ada beberapa faktor yang mendorong Umar ibn Abdul Aziz mengambil inisiatif untuk memerintahkan para gubernur dan pembantunya untuk mengumpulkan dan menuliskan hadis di antaranya adalah Pertama, tidak adanya lagi penghalang untuk menuliskan dan membukukan hadis yaitu kekhawatiran bercampurnya Al-Qur’an dengan hadis, hal tersebut karena Al-Qur’an ketika itu telah dibukukan dan disebarluaskan. Kedua, munculnya kekhawatiran akan hilang dan lenyapnya hadis, karena banyak para sahabat yang meninggal dunia akibat usia lanjut atau karena seringnya terjadi peperangan. Ketiga, semakin maraknya kegiatan pemalsuan hadis yang dilatarbelakangi oleh perpecahan politik dan perbedaan mazhab di kalangan umat Islam. Apabila keadaan ini dibiarkan terus, akan merusak kemurniaan ajaran Islam. Sehingga, upaya untuk menyelamatkan hadis dengan cara pembukuannya setelah melalui seleksi yang ketat, harus segera dilakukan. Keempat, karena semakin luasnya daerah kekuasaan Islam, disertai dengan semakin banyak dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam, maka hal tersebut menuntut mereka untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk dari hadis Nabi, selain petunjuk dari Al-Qur’an itu sendiri. Pemrakarsa Pengodifikasian Hadis Secara Resmi dari Pemerintah Umar ibn Abd al-Aziz, yang dikenal secara umum dari kalangan penguasa, merupakan tokoh yang memrakarsai pembukuan hadis Nabi secara resmi. Akan tetapi, menurut Ajjaj al-Khatib berdasarkan sumber yang sah dari Thabaqat ibn Sa’d, kegiatan pembukuan hadis ini telah lebih dahulu diprakarsai oleh Abdul Aziz ibn Marwan ayah dari Umar bin Abdul Aziz sendiri. Ketika itu beliau menjabat sebagai gubernur di Mesir. Riwayat tersebut menceritakan bahwa Abd al-Aziz telah meminta Katsir ibn Murrah al-Hadhrami, seorang tabi’in di Himsha yang pernah bertemu dengan tidak kurang dari 70 veteran perang Badar dari kalangan sahabat, untuk menuliskan hadis-hadis Nabi yang pernah diterimanya dari para sahabat selain Abu Hurairah. Selanjutnya, mengirimkannya kepada Abd al-Aziz sendiri. Abd al-Aziz menyatakan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sudah dimiliki catatannya, yang didengarnya sendiri secara langsung. Dengan demikian, perintah tersebut adalah pertanda bahwa telah dimulainya pembukuan hadis secara resmi, yang diprakarsai oleh penguasa. Hal tersebut terjadi pada tahun 75 Hijriyah. Pelaksanaan Kodifikasi Hadis atas Perintah Umar Ibn Abd Al-Aziz Meskipun Abd al-Aziz, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ajjaj al- Khatib, telah lebih dahulu memrakarsai pengumpulan hadis. Namun karena kedudukannya hanya sebagai seorang Gubernur, maka jangkauan perintahnya untuk mengumpulkan hadis kepada aparatnya sangat terbatas sekali, sesuai dengan keterbatasan kekuasaan dan wilayahnya. Umar ibn Abd al-Aziz Putra dari Abd al-Aziz sendiri yang memprakarsai pengumpulan hadis secara resmi dan dalam jangkauan yang lebih luas. Hal tersebut dikarenakan posisinya sebagai khalifah dapat memerintahkan para gubernurnya untuk melaksanakan tugas pengumpulan dan pengkodifikasian hadis. Abu Bakar Muhammad ibn Amr ibn Hazm Gubernur di Madinah adalah di antara gubernur yang menerima instruksi dari Umar ibn Abd al-Aziz untuk mengumpulkan hadis. Dalam instruksinya tersebut, Umar memerintahkan Ibn Hazm untuk menuliskan dan mengumpulkan hadis yang berasal dari koleksi Ibn Hazm sendiri, Amrah binti Abd al- Rahman, seorang faqih dan muridnya Sayyidah Aisyah RA, Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar Al-Siddiq, seorang pemuka tabi’in dan salah seorang dari fuqaha yang tujuh. Ibn Hazm melaksanakan tugas tersebut dengan baik. Tugas yang serupa juga dilaksanakan oleh Muhammad ibn Syihab al-Zuhri, seorang ulama besar di Hijaz dan Syam. Dengan demikian, kedua ulama di atas lah yang yang merupakan pelopor dalam kodifikasi hadis, berdasarkan perintah Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz. Dari kedua tokoh di atas, para ulama hadis lebih cenderung memilih al-Zuhri sebagai kodifikasi pertama dari pada Ibn Hazm, hal ini adalah karena kelebihan al-Zuhri dalam hal berikut Al-Zuhri lebih dikenal sebagai ulama di bidang hadis dibandingkan dengan yang lainnya. 2. Dia berhasil menghimpun seluruh hadis yang ada di Madinah, sedangkan Ibn Hazm tidak demikian. 3. Hasil kodifikasinya dikirimkan ke seluruh penguasa di daerah-daerah sehingga lebih cepat tersebar. Era Pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun Periode ini berlangsung sejak masa pemerintahan khalifah Al-Ma’mun sampai pada awal pemerintahan Khalifah al-Muqtadir dari kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Pada periode ini, para ulama hadis memusatkan perhatian mereka pada pemeliharaan keberadaan dan terutama kemurniaan hadis-hadis nabi sebagai antisipasi mereka terhadap kegiatan pemalsuan hadis yang semakin marak. Pada abad ke-2 sebelumnya, perkembangan ilmu pengetahuan Islam pesat sekali dan telah melahirkan para imam mujtahid di berbagai bidang di antaranya dalam bidang fiqih dan ilmu kalam. Pada dasarnya, para imam mujtahid tersebut meskipun dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat, mereka saling menghormati dan menghargai pendapat masing-masing. Akan tetapi, para pengikut masing-masing Imam, terutama setelah memasuki abad ke-3 Hijriyah, berkeyakinan bahwa pendapat gurunya yang paling benar dan bahkan hal tersebut sampai menimbulkan bentrokan pendapat yang semakin meruncing. Di antara pengikut mazhab yang sangat fanatik akhirnya menciptakan hadis-hadis palsu dalam rangka mendukung mazhabnya dan menjatuhkan lawannya. Menyikapi hal tersebut, ulama tidak tinggal diam, mereka berupaya untuk melestarikan hadis, memelihara kemurnian hadis. Di antaranya dengan cara pertama, perlawanan ke daerah-daerah. Kedua, pengklasifikasian hadis kepada marfu’, mauquf, dan maqthu’. Ketiga, penyeleksian kualitas hadis dan pengklasifikasiannya kepada shahih, hasan, dan dhaif. Bentuk penyusunan kitab hadis pada periode ini ada tiga bentuk yaitu pertama, Kitab Shahih, kitab ini hanya menghimpun hadis-hadis shahih, sedangkan yang tidak shahih tidak dimasukkan ke dalamnya. Kedua, Kitab Sunan, di dalam kitab ini selain dijumpai hadis-hadis sahih juga didapati hadis yang berkualitas dhaif, dengan syarat tidak terlalu lemah dan tidak munkar. Ketiga, Kitab Musnad, di dalam kitab ini hadis-hadis disusun berdasarkan nama perawi pertama, urutan nama perawi pertama ada yang berdasarkan urutan kabilah, seperti mendahulukan Bani Hasyim dari yang lainnya, ada yang berdasarkan nama sahabat menurut urutan waktu memeluk Islam, dan ada yang menurut urutan lainnya seperti urutan Huruf Hijaiyah. Era Khalifah Al-Muqtadir dan Khalifah Al-Mu’tashim Periode ini dimulai pada masa Khalifah Al-Muqtadir sampai Khalifah Al Mu’tashim, meskipun pada periode ini kekuasaan Islam mulai melemah dan bahkan mengalami keruntuhan pada pertengahan abad ke-7 Hijriyah. Namun, kegiatan para ulama hadis dalam rangka memelihara dan mengembangkan hadis tetap berlangsung sebagaimana pada periode- periode sebelumnya, hanya saja hadis-hadis yang dihimpun pada periode ini tidaklah sebanyak yang dihimpun pada periode-periode sebelumnya. Bentuk penyusunan kitab hadis pada masa ini Pertama, Kitab Athraf, di dalam kitab ini penyusunnya hanya menyebutkan sebagian dari matan hadis tertentu, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik sanad yang berasal dari kitab hadis yang dikutip matannya ataupun dari kitab- kitab lainnya. Kedua Kitab Mustakhraj, kitab ini memuat matan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim atau keduanya, atau lainnya. Selanjutnya, penyusun kitab ini meriwayatkan matan hadis tersebut dengan sanadnya sendiri. Ketiga, Kitab Mustadrak, kitab ini menghimpun hadis-hadis yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki salah satu syarat dari keduanya. 4 Kitab Jami’, kitab ini menghimpun hadis-hadis yang termuat dalam kitab-kitab yang telah ada. Editor Yahya FR

Pertama Ilmu Hadis, para ahli hadis mengidentikkan sunnah dengan hadis yaitu: Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan maupun ketetapannya. Kedua, Ilmu Ushul Fiqh, pengertian sunnah menurut ulama ushul fiqh adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi SAW, berupa perkataan, perbuatan dan

PERAN UMAR IBN ABDUL AZIZ DALAM KODIFIKASI HADIS Abstract Hadis merupakan sumber Hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Oleh karena hadis menduduki peringkat kedua setelah Al-Qur’an, maka suatu keharusan bagi kaum muslimin untuk mepelajarinya. Tanpa mengenal hadis, rasanya sulit untuk memahami ilmu-ilmu keislaman. Hadis bukanlah hal yang baru bagi masyarakat Islam masa kini, karena semenjak Muhammad saw dikenal dengan nama hadis. Hadis tidak lain adalah segala yang dinukilkan pada Rasulullah baik perkataan, perbuatan, takrir dan hal-ikhwalnya. Namun yang menarik adalah kenapa hadis ini baru dihimpun dikodifikasikan secara resmi pada masa khalifah Umar ibn Abdul Aziz -khalifah Ummayyah kedelapan-? Apa sebelum masa Umar ibn Abdul Aziz tidak ada usaha untuk mengkodifikasikan hadis. Dalam tulisan singkat ini akan dibahas bagaimana peran khalifah Umar ibn Abdul Aziz dalam kodifikasi hadis. Namun terlebih dahulu akan dibahas pengertian kodifikasi dan bagaimana penulisan hadis pada masa Nabi. Refbacks There are currently no refbacks.

Wacanakodifikasi Alquran yang diusulkan Umar bin Khattab memang sebuah tawaran solutif brilian yang terekam dalam sejarah Islam. proses kodifikasi Alqur’an berjalan mulus lantaran Alquran diabadikan dalam hafalan kuat dan naskahnaskah pribadi para sahabat.

Sejarah Kodifikasi Hadis pada Masa Umar bin Abdul Aziz. Hadis pada masa nabi tersampaikan melalui lisan atau dari mulut ke mulut. Kemudian pada akhir masa abad pertama hijriah, tepatnya pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz penguasa dinasti Umayyah mencoba mendokumentasikan, mengumpulkan hadis-hadis itu dalam bentuk kitab. Gagasan-gagasan yang sampai kepada khalifah Umar bin Abdul iziz kemudian direspon oleh ulama-ulama pada waktu itu dengan antusias. Para Penulis Hadis Langkah-langkah Umar bin Abdul Aziz dalam mengumpulkan hadis adalah dengan menunjuk salah satu gubernur madinah. Gubernur tersebut bernama Amr bin Hazm wafat 735M yang memperoleh mandat untuk mengumpulkan hadis-hadis dari madinah. Selain Amr bin Hazm, juga menunjuk salah seorang tokoh yang bernama Syihab Az-zuhri wafat 795M. Sedangkan untuk membangun sebuah metodologi, menunjuk Malik bin Anas wafat 741M sebagai orang yang secara teknis mengumpulkan hadis-hadis tersebut. Oleh karena itu, pada masa inilah yang para sejarawan menyebutnya dengan istilah al ashr al fash al riwayat yaitu upaya-upaya untuk mengumpulkan hadis. Hal tersebut dilakukan mulai dari mengklasifisikan hadis sesuai dengan tingkat otentisitas dan juga tingkat orisinalitas sebuah hadis. Pelaksanaan kodifikasi hadis atau pembukuan hadis memang atas dasar banyaknya sahabat-sahabat yang mempunyai tulisan atau kumpulan-kumpulan hadis pada masa itu. Demi Kebaikan Umat Islam Walaupun pada waktu itu nabi dasarnya melarang untuk menuliskan hadis, tapi ada beberapa sahabat yang tetap menuliskan sebuah hadis. Salah satunya adalah sahifah yang terkumpul di tangan sahabat Abdullah ibn Amr Al-ash, kemudian sahifah ash-sahihah milik Hamman bin Munnabih, kitab-kitab Abdullah bin abbas dan sohifah Jabir bin Abdillah al-anshari. Mereka semua mempunyai catatan hadis meskipun tulisan tersebut pada masa nabi tidak resmi karena larangan nabi untuk menulis hadis. Dari dasar itulah maka agar tidak menjadi perbedaan, tidak terjadi penyalahgunaan riwayat, terkait dengan kepentingan-kepentingan politik khusunya pada hadis-hadis yang berkembang pada masa itu maka Umar bin Abdul Aziz dan beberapa ulama untuk melakukan pengkodifikasian hadis. Motif kodifikasi hadis juga terdorong oleh banyaknya para penghafal hadis yang meninggal atau wafat dalam peperangan perluasan islam. Adanya konflik antar kelompok atas dasar ideologi yang semakin berkembang akibat pollitik, perebutan kekuasaan pasca peristiwa tahkim yaitu ketika pertikaian antara sayidina Ali dan Muawiyah yang kemudian melahirkan firqah-firqah dalam Islam. Salah satu dari banyak sebab adalah karena banyaknya ragam penafsiran hadis. Selain itu juga ada pemalsuan hadis dalam rangka untuk mendukung para penguasa pada masa itu. Adanya kelompok-kelompok pendewan hadis yang tidak resmi di luar kehendak khalifah yang kemudian menimbulkan ancaman yang cukup membahayakan. Hal itu karena khawatir pendewan hadis hanya untuk kepenting-kepentingan kelompok tertentu. Berkembangnya budaya literasi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, budaya literasi atau budaya tulis menulis. Sehingga sangat memungkinkan secara sumber daya manusia, kemampuan untuk mencoba melakukan kodifikasi hadis. Untuk menjaga ontentisitas sebuah hadis dan menjaga keaslian suatu hadis, maka upaya-upaya itu menjadi dasar yang kuat bagi Umar bin Abdul Aziz untuk melakukan kodifikasi atau pengumpulan hadis. Terbit pertama kali di website berjudul Sejarah Kodifikasi Hadis pada masa Umar bin Abdul Aziz 1 1 Hadist pada Masa Sahabat. Periode kedua sejarah perkembangan hadits adalah masa sahabat, khususnya adalah Khulafa al-Rasyidun (Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khathab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), sehingga masa ini dikenal dengan masa sahabat besar.[1] Periode ini juga dikenal dengan zaman Al-Tasabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah
Ini Alasan Hadis Dibukukan di Masa Umayyah Rep Syahruddin el-Fikri/ Red Agung Sasongko Jumat 22 Apr 2022 2021 WIB Foto Penulisan hadis ilustrasi. JAKARTA — Kendati pada masa awal Islam sudah ada catatan-catatan hadis yang ditulis beberapa sahabat, penulisan hadis secara khusus baru dimulai pada awal abad ke-2 H, saat Umar bin Abdul Aziz dari bani Umayyah menduduki jabatan khalifah 717-720 M. Faktor penyebabnya adalah kekhawatiran Khalifah bahwa hadis berangsur-angsur akan hilang jika tidak dikumpulkan dan dibukukan. Ia melihat bahwa para penghafal hadis semakin berkurang karena meninggal, dan sudah berpencar ke berbagai wilayah Islam. Selain itu, pemalsuan hadis pun mulai berkembang. Dengan dukungan para ulama, Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm, untuk mengumpulkan hadis yang terdapat pada penghafal Amrah binti Abdurrahman dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq keduanya ulama besar Madinah yang banyak menerima hadis dan paling dipercaya dalam meriwayatkan hadis dari Aisyah binti Abu Bakar. Di samping itu, Khalifah Umar juga memerintahkan Muhammad bin Syihab az-Zuhri untuk mengumpulkan hadis yang ada pada para penghafal hadis di Hijaz Madinah dan Makkah dan Suriah. Az-Zuhri adalah ulama besar dari kelompok tabiin pertama yang membukukan hadis. Sejak saat itu, perhatian para ulama hadis dalam pengumpulan, penulisan, dan pembukuan hadis mulai berkembang, sehingga pada abad ke-2 H dikenal beberapa orang penghimpun dan penulis hadis. Di antaranya Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij di Makkah; Malik bin Anas atau Imam Malik dan Muhammad bin Ishak di Madinah; ar-Rabi bin Sabih, Sa’id bin Urubah, dan Hammad bin Salamah bin Dinar al-Basri di Basra; Sufyan as-Sauri di Kufah; Ma’mar bin Rasyid di Yaman; Abdur Rahman bin Amr al-Auza’i di Syam Suriah; Abdullah bin al-Mubarak di Khurasan Iran; Hasyim bin Basyir di Wasit Irak; Jarir bin Abdul Hamid di Rayy Iran; dan Abdullah bin Wahhab di Mesir. Akan tetapi, penulisan hadis pada masa ini, masih bercampur antara sabda Rasulullah SAW dengan fatwa sahabat dan tabiin, seperti terlihat dalam kitab al-Muwatta’ yang disusun Imam Malik. Karena keragaman isi kitab hadis yang disusun pada masa ini, para ulama hadis ada yang mengatakan bahwa kitab-kitab hadis ini termasuk kategori al-musnad kitab hadis yang disusun berdasarkan urutan nama sahabat yang menerima hadis dari Nabi SAW. Tetapi ada pula yang memasukkannya ke dalam kategori al-Jami’ kitab hadis yang memuat delapan pokok masalah, yaitu akidah, hukum, tafsir, etika makan dan minum, tarikh, sejarah kehidupan Nabi SAW, akhlak, serta perbuatan baik dan tercela atau al-mu’jam kitab yang memuat hadis menurut nama sahabat, guru kabilah, atau tempat hadis didapatkan. Fase penulisan hadis yang terkahir ini baru mulai berkembang akhir abad ke-2 H. Pada periode selanjutnya, muncul para tabiin dan tabi’ at-tabi’in generasi sesudah tabiin yang memisahkan antara sabda Rasulullah SAW dan fatwa sahabat serta tabiin. Mereka hanya menuliskan hadis yang merupakan sabda Rasulullah SAW lengkap dengan sanad periwayatan yang disebut al-musnad. Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal adalah salah satu al-musnad yang terlengkap dan paling luas. Akan tetapi hadis yang disusun dalam kitab-kitab al-musnad ini masih mencampurkan hadis yang sahih, hasan, dan daif, bahkan hadis maudu’ palsu. Di antara generasi pertama yang menulis al-musnad ini adalah Abu Dawud Sulaiman at-Tayalisi. Langkah ini diikuti oleh generasi sesudahnya, seperti Asad bin Musa, Musa al-Abbasi, Musaddad al-Basri, Nu’aim bin Hammad al-Khaza’i, Ahmad bin Hanbal atau Imam Hanbali, Ishaq bin Rahawaih, dan Usman bin Abi Syaibah. BACA JUGA Ikuti News Analysis Isu-Isu Terkini Persepektif Berita Lainnya Source
Sebuahkata sandi akan dikirimkan ke email Anda. ZNEWS. NEWS
ArticlePDF Available AbstractHere I try to uncover various foundation of time and space underlying the nature of caliph Umar bin Abdul Aziz’s thought who formally commanded codifying hadith. I use Peter L. Berger theory of sociology of knowledge to get an understanding of how the process Umar bin Abdul Aziz that has lived in the luxuriousness dynastic of Umayyah capable to pay attention on hadith whereas formerly it was allowed running wild in the arms individual thalib hadith and didn’t get attention from any Umayyad caliphate. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. UMAR BIN ABDUL AZIZ DAN SEMANGAT PENULISAN HADIS Saifuddin Zuhri Qudsy Email saifuddinzuhri Abstrak Here I try to uncover various foundation of time and space underlying the nature of caliph Umar bin Abdul Aziz’s thought who formally commanded codifying hadith. I use Peter L. Berger theory of sociology of knowledge to get an understanding of how the process Umar bin Abdul Aziz that has lived in the luxuriousness dynastic of Umayyah capable to pay attention on hadith whereas formerly it was allowed running wild in the arms individual thalib hadith and didn’t get attention from any Umayyad caliphate. Kata Kunci periodesasi hadis, kodifikasi hadis, sosiologi pengetahuan A. Pendahuluan alam sejarah periodesasi hadis versi Hasbi Ash-Shiddiqiey, terdapat tujuh periodesasi. Masa wahyu dan pembentukan masyarakat ashr wahy wa al-taqwim 13 SH-11H; Periode pembatasan dan penyelidikan hadis ashr tatsbut wa al-iklal min al-riwayah12H-40H; Periode Penyebaran hadis ke berbagai wilayah ashr intisyar riwayat ila al-amshar 41H- akhir abad I H; Periode Penulisan dan Pembukuan Hadis secara Resmi ashr al-kitabat wa al-tadwin. II H-akhir; Periode Pemurnian, Penyehatan, dan penyempurnaan ashr tajrid wa al-tashih wa al-tanqih awal IIIH-akhir; Periode pemeliharaan, penertiban, dan penghimpunan ashr Tahdzib wa al-tartib wa al-istidrak wa al-jam’u 258 ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013 IV H-Jatuhnya Baghdad 656H; Periode pensyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan al-Syarh, wa al-jam’u wa takhrij 656 H-Sekarang.1 Dari tujuh periodesasi yang disebutkan di atas, penulis tertarik untuk membahas masa periode penulisan dan pembukuan hadis secara resmi, dengan Umar bin Abdul Aziz sebagai pemrakarsanya. Semangat penulisan hadis yang pada awalnya dilakukan orang-perorang mulai masa sahabat hingga tabiin kemudian menarik perhatian salah seorang khalifah Umayyah untuk melakukan penyelamatan hadis secara nasional dan dilakukan serentak. Hal ini pula yang kemudian membuat kami tertarik untuk melakukan penelitian mengenai sejarah sosial terbentuknya gagasan mengenai pengumpulan hadis secara resmi yang dilakukan pada masa khalifah Umayyah ini. Latar belakang historis mengenai hadis, yakni bagaimana umat Islam pada waktu itu memperlakukannya, dan latar kehidupan Umar bin Abdul Aziz yang sangat berbeda dengan khalifah-khalifah Umayyah lainnya membuat kami tertarik untuk menelaahnya melalui analisis sosiologi Sosiologi pengetahuan mencoba untuk menganalisis dan menghubungkan berbagai ide dengan realitas masyarakat serta menelaah setting historis tempat ide-ide tersebut diproduksi dan diterima. Sehingga dengan demikian kami akan mengkaji pertama-tama hadis sebagai salah satu sumber pengetahuan Islam, kemudian Umar bin Abdul Aziz, sebagai pencetus kodifikasi hadis, dengan mengkaji berbagai ide-ide dan sejumlah faktor sosial yang membentuk dan mendorong dia melakukan kodifikasi hadis. B. Memahami Hadis dalam Sistem Pengetahuan Masyarakat Islam Hadis merupakan sumber kedua dalam Islam setelah al-Qur’an. Pada masa Rasulullah, hadis melekat dalam memori para sahabat dan belum banyak ditulis, bahkan di awal-awal wahyu, hadis dilarang untuk dicatat karena khawatir bercampur dengan al-Qur’an. Para sahabat merupakan 1 Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang Pustaka Rizki Putra, 2009, hlm. 30. 2 Terma sosiologi pengetahuan merupakan satu terma yang diperkenalkan pertama kali oleh Marx Scheler yang kemudian diracik dan dikemas dengan sangat apik oleh Karl Manheim dan Peter L. Berger. Lihat Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality A Treatise in The Sociology of Knowledge England Penguin, 1991, hlm. 16. Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis 259 penyambung lidah Rasulullah. Banyak diantara mereka yang mendengar berbagai hal secara langsung dari Rasulullah. Bahkan Umar bin Khattab secara bergantian dengan tetangganya menghadiri majlis nabi Saw. Namun banyak diantara sahabat yang tidak menulisnya karena disamping ada larangan, alat-alat pendukung tulis menulis pada saat itu masih belum banyak, dan yang paling utama adalah bahwa pada umumnya masyarakat masih belum melek tulisan serta kuatnya tradisi hafalan mereka. Pada masa khulafaur Rasyidin, sebenarnya sudah mulai tampak kebutuhan akan hadis, terutama pada masalah-masalah yang khalifah sendiri tidak tahu dan belum mendapatkannya secara langsung dari Rasulullah. Namun hal itu masih sangat minim sekali, dan hanya terbatas pada ketidaktahuan sahabat pada satu kasus yang pernah ada di masa Rasulullah, tapi kemudian diselesaikan oleh sahabat yang lain yang menyaksikannya secara langsung pada masa Rasul. Perkembangan Islam yang semakin pesat pada masa Umar bin Khattab membuat perkembangan meniscayakan perlunya tenaga pengajar agama, penyambung lidah Rasulullah serta penyampai petuah-petuah Rasulullah mengenai berbagai hal yang terkait dengan kehidupan manusia. Bahkan setelah terbunuhnya khalifah ketiga, Utsman bin Affan, kebutuhan akan hadis semakin meningkat. Para sahabat semakin berhati-hati dalam menerima hadis karena telah muncul benih-benih hadis palsu pada masa Ali bin Abi Thalib dan semakin kuat ketika masa Muawiyah bin Abu Misalnya hadis “Ali sebaik-baik manusia, barang siapa meragukannya maka dia kafir.” Hadis digunakan oleh kelompok pembela Ali Syi’ah. Kemudian salah satu contoh lai adalah “Sosok yang berkarakter jujur ada tiga aku, Jibril, dan Muawiyyah” yang digunakan sebagai legitimasi kekuasaan dinasti baru setelah khalifah Ali, yakni dinasti Umayyah dengan Muawiyah sebagai khalifahnya. Kaum Rafidhah Syi’ah yang merupakan pendukung sayyidina Ali merupakan golongan yang banyak memalsukan hadits. Al-Kholili dalam kitab Irsyad mengatakan bahwa kaum Rafidhi talah memalsukan lebih dari hadis yang isinya 3 Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarahdan Pengantar……, hlm. 46. 260 ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013 sanjungan terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib dan kecaman terhadap dua Khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar bin Pada periode keempat, yakni hadis pada masa Intisyar riwayah il al-amshar penyampaian hadis ke berbagai wilayah semakin banyak sahabat kecil dan tabiin yang menjadi pengajar agama Islam dan penyambung lidah Rasulullah, sehingga para pencari hadis dan cerita-cerita yang berkait dengan Rasulullah dicari dan dikumpulkan. Hanya saja pengumpulannya baru sebatas dilakukan oleh para individu, dan belum ada kordinasi dengan pihak para khalifah Umayyah. Di sisi lain, masa-masa ini sebenarnya merupakan masa-masa rawan hadis palsu, karena khawarij, Syi’ah senantiasa merongrong kekuasaan bani Umayyah, sedangkan kelompok bani Umayyah juga membutuhkan legitimasi untuk kekuasaannya agar diakui sehingga hadis palsu di sini tidak terelakkan. Dalam bahasa lain, pada dasarnya hadis palsu dipengaruhi oleh situasi politik kekuasaan yang berlangsung pada itu. C. Mengenal Sosok Umar bin Abdul Aziz Nama lengkapnya adalah Abu Hafsh Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin al-Hakam bin Abil Ash bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab, al-Quraisy al-Madani. Dia lahir pada tahun 61 H dan wafat pada 101 H. Ayahnya, yaitu Abdul Aziz bin Marwan merupakan seorang yang pernah menjabat pemimpin kota Mesir selama kurang lebih 20an tahun dan di sana pulalah Umar lahir. Ayahnya adalah orang yang memiliki nasab yang bagus, pola kehidupan masa musa yang juga tidak kalah bagus, Abdul Aziz adalah seorang yang cinta pada hadis-hadis Rasulullah. Dia sering hadir di majlis Abu Hurairah dan para sahabat Sedangkan ibu beliau adalah Ummu Ashim binti Ashim bin Umar bin Khaththab. Umar bin Abdul Aziz biasa dikenal juga dengan sebutan Umar II. Menurut sebagian sumber, pada masa ketika Umar bin Khaththab menjadi khalifah, dia sering ronda pada malam hari. Khalifah Umar sangat terkenal dengan kegiatannya beronda pada malam hari di sekitar daerah kekuasaannya. Pada suatu malam beliau mendengar dialog seorang anak 4 Abu Ya’la al-Kholil bin Abdillah, Al-Irsyad fi Ma’rifati Ulama al-hadits, dalam CD Maktabah Syamilah. 5 Ali Muhammad Muhammad al-Shallabi, Al-Khalifah al-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdil Aziz, tp. tt. Hlm. 10. Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis 261 perempuan dan ibunya yang berasal dari bani Hilal, seorang penjual susu yang miskin. Kata ibu “Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari.” Anaknya menjawab “Kita tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul Mukminin melarang kita berbuat begini.” Si ibu masih mendesak “Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu.” Balas si anak “Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu.” Umar yang mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak gadis Lalu Umar meminta pembantunya, Aslam untuk menandai tempat dia mendengar percakapan antara ibu dan puterinya tersebut. Kemudian keesokan harinya, perempuan dan putrinya itu dicari dan ternyata sang ibu adalah seorang janda dan puterinya masih gadis. Melihat hal ini, Umar bin Khattab kemudian mengumpulkan putera-puteranya dan mengatakan, “siapa diantara kalian yang mau menikahi gadis tersebut? Demi Allah, bila aku masih tertarik kepada perempuan maka tentu aku tidak akan mengusulkannya pada orang lain” Lalu Asim berkata “Nikahkan dia denganku, karena hanya aku yang masih bujang. Kata Umar, “Semoga lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin Islam yang hebat kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam.” Asim segera menikahi gadis miskin tersebut. Pernikahan ini melahirkan anak perempuan bernama Laila yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Asim. Ketika dewasa Ummu Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan yang melahirkan Umar bin Abdul-Aziz. jadi Umar bin Khattab adalah mbah buyutnya Umar bin Abdul Aziz dari jalur ibunya. Ciri-ciri Umar bin Abdul Aziz adalah kulitnya berkulit coklat sawo matang, berparas lembut, berbadan kurus, berjenggot rapi, bermata cekung, dan di wajahnya ada bekas luka karena tertanduk kuda. Hamzah bin Sa’id, menceritakan peristiwa ini bahwa “Suatu hari Umar bin Abdul Aziz ingin menemui bapaknya sedang pada waktu itu dia masih bocah, lalu seekor kuda menanduknya sehingga melukainya, maka bapaknya sambil mengusap 6 Abu al-Farah Abdul Rahman Ibn al-Jauzi, Siiratu wa manaaqibu Umar bin Abdil Aziz, Iskandariyah Daar Ibnu Khaldun, 1996, hlm. 9. 262 ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013 darah yang mengalir seraya mengatakan, Kalau engkau bisa menjadi orang Bani Umayyah yang paling kuat sungguh itu adalah keberuntungan.’”7 Sebenarnya garis nasab Umar II tidak berjalur darah kekhilafahan, karena dia adalah putra dari Abdul Aziz bin Marwan sedangkan jalur kekhilafahan adalah pada nasab Abdul Malik bin Marwan. Pada masa bujangnya Umar bin Abdul Aziz lebih mengutamakan ilmu dari menyibukkan urusan kekuasaan dan jabatan. Tak heran jika ia telah hafal al-Qur’an di masa kecilnya. Kemudian dia meminta kepada ayahnya agar mengizinkannya untuk melakukan rihlah perjalanan jauh dalam thalabul ilmi menuntut ilmu menuju Medinah. Di sana dia belajar agama menimba ilmu akhlak dan adab kepada para fuqoha Medinah. Di Medinah dia belajar kepada Abdullah bin Umar bin Khattab dan Anas bin Malik, Dan di sanalah pula beliau dikenal dengan ilmu dan kecerdasannya, sehingga Allah menakdirkan kelak ia akan menjadi seorang pemimpin yang adil dan faqih dalam urusan agama. Bahkan di Medinah dia sering dipuji oleh Anas bin Malik, misalnya perkataannya “Belum pernah aku dipimpin shalat yang shalatnya mirip dengan shalat Rasulullah selain dari pemuda ini, yakni Umar bin Abdul Aziz.”8 Dia dikenal pula dengan kezuhudannya, sebagaimana dikatakan dalam sebuah kisah Ahmad bin Abi al-Hiwari, “Aku mendengar Abu Sulaiman ad-Daroni dan Abu Shofwan keduanya tengah memperbincangkan Umar bin Abdul Aziz dan Uwais al-Qorni. Berkata Abu Sulaiman kepada Abu Shofwan, Umar bin Abdul Aziz adalah orang yang lebih zuhud ketimbang Uwais al-Qorni.’ Maka Abu Shofwan menimpali, Mengapa?’ Beliau menjawab, Karena Umar bin Abdul Aziz telah memiliki dan menguasai dunia namun ia tetap zuhud darinya.’ Maka Abu Shofwan membela seraya mengatakan, Seandainya Uwais diberi kekuasaan terhadap harta tentu ia akan berbuat sebagaimana yang diperbuat Umar bin Abdul Aziz!’ Maka berkata Abu Sulaiman, Jangan samakan orang yang telah mencoba dengan orang yang belum mencobanya, karena seorang yang tatkala dunia berada di tangannya namun ia tetap tidak menoleh harapan darinya, itu lebih utama daripada orang yang tidak pernah diuji dengan dunia sekalipun sama-sama 7 Abu Faiz al-Atsari, “Umar bin Abdul Aziz, Khalifah Pembela Sunnah dan Penegak Keadilan,” Majalah Al-Furqon Ed 11 Th. Ke-10, 1432 H. 8 Al-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, terj. Fachry, Jakarta Hikmah, 2010, hlm. 281. Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis 263 ia tidak menaruh harapan darinya.’”9 Hal senada diungkapkan oleh Malik bin Dinar, dia berkata “Orang-orang berkomentar mengenaiku, “Malik bin Dinar adalah orang zuhud.” Padahal yang pantas dikatakan orang zuhud hanyalah Umar bin Abdul Aziz. Dunia mendatanginya namun ditinggalkannya.”10 Umar bin Abdul Aziz ketika menjadi khalifah memiliki satu pakaian saja, dan dia tidak berpakaian jika pakaiannya dicuci. Di Medinah, Umar bin Abdul Aziz juga belajar pada salah satu dari tujuh ahli Fiqh Medinah, yakni Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud. Dia belajar dari Shalih bin Kaisan, salah seorang tabiin senior, yang memang ditugasi Abdul Aziz agar mengajari dan mendidik Umar. Setelah ayahanda meninggal dunia Umar diminta untuk tinggal bersama pamannya yaitu Abdul Malik bin Marwan bahkan ia dinikahkan dengan putrinya yaitu Fathimah binti Abdul Malik bin Fathimah memiliki nasab yang mulia; putri khalifah, kakeknya juga khalifah, saudara perempuan dari para khalifah, dan istri dari khalifah yang mulia Umar bin Abdul Aziz, namun hidupnya sederhana. Istrinya yang lain adalah Lamis binti Ali, Ummu Utsman bin Syu’aib, dan Ummu Walad. Umar II dikarunia empat belas anak. Diantaranya adalah Umar bin Abdul Aziz mempunyai empat belas anak laki-laki, di antara mereka adalah Abdul Malik, Abdul Aziz, Abdullah, Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, Bakar, Al-Walid, Musa, Ashim, Yazid, Zaban, Abdullah, serta tiga anak perempuan, Aminah, Ummu Ammar dan Ummu Abdillah. Ia memiliki tiga Ketika dia menjadi khalifah, dia mengatakan sesuatu yang sangat ekstrim kepada istrinya, Fathimah, “Wahai Fatimah, saat ini aku telah menjadi khalifah, dan saya tidak memiliki waktu untuk bersenang-senang dengan perempuan, oleh karena itu terserah kepadamu, apakah kamu akan bersabar bersamaku atau kamu boleh meninggalkanku jika kamu mau.” Dengan menitikkan air mata, istrinya menjawab, “Saya akan bersabar.” Suatu hal yang tentu sangat berat bagi perempuan yang telah bersuami. Ketika Umar II meninggal, Fathimah berkata “Demi Allah, Umar tidak pernah mandi 9 Abu al-Farah Abdul Rahman Ibn al-Jauzi, Siiratu wa manaaqibu Umar bin Abdil Aziz……, hlm. 184. 10 Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, hlm. 699. 11 Abu al-Farah Abdul Rahman Ibn al-Jauzi, Siiratu wa Manaaqibu Umar bin Abdil Aziz……, hlm. 314-315. 264 ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013 besar karena berhubungan suami istri atau karena mimpi basah selama dia menjadi khalifah hingga dia D. Kiprah Politik Umar bin Abdul Aziz sebelum menjadi Khalifah Sebelum menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz sempat menempati posisi strategis. Diantaranya pada tahun 706 M ketika berumur 25 tahun dia diangkat sebagai gubernur Medinah setelah ayah mertuanya meninggal. Dia menjadi gubernur Medinah sekitar 7 tahun. Penampilannya sebagai gubernur berbeda dari gubernur lainnya karena ia sangat adil dalam memerintah. Di Medinah, dia membentuk satu dewan penasihat’ yang beranggotakan para ulama yang berpengaruh di kota itu. Dalam dewan itu, ia bersama ulama mendiskusikan berbagai masalah penting yang berkaitan dengan agama, urusan rakyat dan pemerintahan. Melalui dewan itu, ia berusaha mempersatukan pandangan antara umara pemerintah dan ulama dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi rakyat dan pemerintah. Namun, kepiawaiannya dalam memimpin suatu daerah menyebabkan kecemburuan dari gubernur daerah lain. Kemudian pada masa al-Walid I dia diberhentikan dari jabatannya sebagai gubernur karena hasutan dari al-Hajjaj bin Yusuf, gubernur Irak pada waktu itu, kepada khalifah al-Walid. Dalam literatur sejarah, Al-Hajjaj adalah sosok gubernur Iraq yang lalim, sehingga banyak warga Iraq yang tidak kerasan tinggal di wilayah tersebut dan hijrah ke Medinah. Umar bin Abdul Aziz tidak menyukai al-Hajjaj karena sikapnya tersebut, sehingga ketika al-Hajjaj hendak melaksanakan haji, Umar kemudian mengirim surat kepada khalifah al-Walid agar tidak memperkenankan al-Hajjaj lewat Medinah. Lalu al-Walid menggaransi hal ini dan memenuhi permintaan Umar II. Al-Walid menyurati Hajjaj bin Yusuf, “Sesungguhnya Umar bin Abdul Aziz meminta kepadaku agar kamu tidak melewati daerahnya. Oleh karenanya jangan melewati daerah orang yang membencimu.” Sehingga Hajjaj pun menghindari Namun hal ini dibalas oleh al-Hajjaj dengan mengatakan kepada al-Walid bahwa Medinah dan Makkah membutuhkan gubernur yang baru yang 13 Kuliah Umum Dr. Mohammad Musa al-Shareef, diunduh pada 20 Oktober 2012. 14 Abdullah bin Abdul Hakam, Biografi Umar bin Abdul Aziz Penegak Keadilan, terj. Habiburrahman Syaerozi, Jakarta Gema Insani Press, 2002, hlm. 38-39. Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis 265 lebih baik dari Umar II. Al-Walid kemudian termakan provokasi al-Hajjaj sehingga memberhentikan Umar II dari jabatan gubernur. Namun, hanya saja beberapa tahun kemudian al-Hajjaj dicopot dari jabatannya dan dilucuti pula orang-orang setianya, karena mereka tidak mau mengakui Sulaiman sebagai khalifah. Dan ketika meninggalnya Hajjaj bin Yusuf, Umar bin abdul Aziz berkata “sujudku untuk Allah karena berakhirnya masa hidup Menurut Imam al-Suyuti, ketika al-Walid berkuasa, al-Walid ingin menghentikan Sulaiman sebagai putera mahkota dan penerus khalifah dengan menggantikannya pada anaknya. Banyak orang dan kelompok yang rela, baik secara sukarela maupun terpaksa, dengan upaya al-Walid ini. Namun Umar bin Abdul Aziz menolaknya dengan mengatakan kepada Sulaiman “di pundak kami ada baiat.” Dan dia terus menerus menyatakan pendapatnya ini hingga al-Walid marah dan memasukkan dirinya ke dalam kamar sempit dengan jendela yang tertutup rapat dengan harapan dia mati karena sesak nafas dan kelaparan. Namun setelah empat hari, dia diberikan ampunan. Para pengawal mendatangi Umar dan mendapati kepalanya telah Pada masa Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan, Umar II diangkat sebagai katib sekretaris bahkan wazir, disamping Roja’ bin Haiwah. Dalam sebuah sumber dinyatakan bahwa Roja’ bin Haiwah Wazir khalifah Sulaiman yang berasal dari Palestina berkata, “Pada hari Jum’at, khalifah kaum muslimin pada waktu itu, Sulaiman bin Abdul Malik, mengenakan pakaian berwarna hijau lalu ia melihat ke arah cermin seraya berkata, Sungguh demi Allah aku adalah seorang pemuda yang menjadi raja.’” Lalu beliau berangkat sholat bersama kaum muslimin dan ia kembali ketika hari hari telah menjadi sangat panas. Setelah usia beliau telah lanjut ia menulis surat wasiat bahwa penggantinya kelak adalah putranya sendiri yaitu Ayub bin Sulaiman namun ia masih kecil dan belum baligh, maka aku Roja’ bin Haiwah mengatakan, Apa yang telah engkau persiapkan wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya yang menjaga seorang khalifah kelak di alam kuburnya adalah kebaikannya karena telah menunjuk penggantinya yang shalih.’ Lalu beliau menjawab, Sesungguhnya aku akan menulis surat wasiat setelah beristikharah kepada Allah perihal penggantiku kelak.’ 15 Ibid., hlm. 38. 16 Al-Suyuti, Tarikh Khulafa’…….., hlm. 280-281. 266 ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013 Namun, setelah berlalu satu atau dua hari tiba-tiba beliau membakar surat wasiat yang telah ia tulis lalu memanggilku dan bertanya, Menurutmu bagaimana dengan Dawud bin Sulaiman?’ Aku katakan, Beliau saat ini sedang menghilang di kota Konstantinopel dan tidak ada kabar berita apakah ia masih hidup atau telah meninggal sebagaimana engkau ketahui.’ Beliau melanjutkan, Wahai Roja’, kalau begitu siapa orang yang pantas menjadi penggantiku?’ Aku katakan, Itu berada pada keputusanmu, aku hanya ingin tahu siapa orang yang engkau pilih kelak.’ Khalifah mengatakan, Bagaimana menurutmu dengan Umar bin Abdul Aziz?’ Aku katakan, Aku mengetahui siapa beliau, beliau adalah seorang yang jujur dan memiliki keutamaan.’ Lalu beliau menandaskan, Kalau begitu aku akan tetapkan bahwa ia adalah penggantiku, tetapi bila aku tidak menetapkan salah satu dari keturunan Abdul Malik pasti akan terjadi fitnah, dan mereka tidak akan membiarkan kepemimpinan berpindah dari tangan mereka kecuali bila aku tetapkan salah satu keturunan mereka adalah pengganti setelah Umar bin Abdul Aziz.’ Maka aku katakan, Kalau begitu, tetapkan saja Yazid bin Abdul Malik —dan tatkala itu beliau sedang tidak di tempat—sebagai pengganti Umar bin Abdul Aziz kalau memang hal itu akan membawa kepada keridhaan mereka.’ Kemudian khalifah Sulaiman bin Abdul Malik menuliskan surat wasiat penetapan Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya dan Yazid bin Abdul Malik adalah pengganti setelah Umar bin Abdul Aziz, dan tulisan ini ditutup dan disegel.’”17 Sebelum Sulaiman wafat, Sulaiman mengatakan kepada para pembesar Umayyah, dengarkan dan patuhi perintah-perintah orang yang namanya disebutkan dalam surat ini, lalu mereka yang hadir menjawab, “baik kami akan mendengar dan mentaatinya”. Ketika Sulaiman telah tiada, isi surat tersebut dibacakan oleh Roja’ “Ini tulisan dari Abdullah Sulaiman, amirul mukminin kepada Umar bin Abdul Aziz, bahwasanya aku memberikan mandat kepadanya untuk menggantikanku sebagai khalifah, kemudian setelah kepemimpinan dia penggantinya adalah Yazid bin Abdul Malik. Maka dengarlah dan patuhlah kepada dirinya, bertakwalah kalian dan jangan berselisih pendapat, niscaya dia akan memuaskan Namun Hisyam yang mendengar nama Umar II langsung berkata; “Tidak, demi 17 Abu al-Farah Abdul Rahman Ibn al-Jauzi, Siiratu wa manaaqibu Umar bin Abdil Aziz……, hlm. 45. Cek pula Min A’lam al-Salaf, Biografi Umar bin Abdul Aziz, hlm. 62. 18 Ibid. Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis 267 Allah dia seharusnya tidak menjadi khalifah kita.” Roja menjawab “Jadi jika kamu tidak patuh maka kami akan memenggal lehermu.” “Berdirilah dan baiatlah dia” tegas Roja’ kepada Hisyam bin Abdul Malik. Akhirnya dengan raut muka marah terpaksa dia membaiat Umar bin Abdul Aziz. dalam versi lain, ketika mendengar Umar bin Abdul Aziz sebagai pengganti khalifah Sulaiman, Hisyam berkata, “Bah”, lalu seorang dari ahli Syam langsung mencabut pedangnya dan mengatakan “Kau berani mengatakan bah’ pada perkara yang telah diputuskan oleh amirul mukminin?! Lalu Hisyam baru reda ketika disebutkan pengganti Umar bin Abdul Aziz adalah Yazid bin Abdul Dari Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz ia bercerita, “Seusai Umar bin Abdul Aziz menguburkan Sulaiman bin Abdul Malik dan baru keluar dari pekuburan ia mendengar suara hentakan kaki kendaraan hewan tunggangan, lalu ia bertanya, Suara apa itu?’ Lalu dijawab, Itu adalah suara kendaraannya khalifah wahai Amirul Mukminin, aku mendekatkannya agar engkau menaikinya.’ Ia menjawab, Siapa aku ... aku tidak pantas menaikinya ... jauhkan itu dariku, dekatkan saja keledaiku.’ Lalu aku dekatkan keledainya lalu beliau Kemudian datang pengawal khalifah di depan beliau dengan membawa tombak, lalu beliau mengatakan, Menjauhlah kalian dariku, siapa aku ... aku hanyalah salah satu di antara kaum muslimin.’ Lalu beliau berjalan dan manusia mengikutinya hingga mereka sampai ke masjid, lalu beliau naik mimbar dan manusia berkumpul kemudian beliau mengatakan, Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah diuji dengan perkara ini kepemimpinan, tiadanya kesepakatan dariku sebelumnya, tidak pula ada permohonan atau musyawarah dari kaum muslimin, maka dengan ini aku umumkan bahwa aku telah melepas kewajiban kalian untuk berbai’at kepadaku. Maka silakan kalian memilih orang yang pantas menjadi pemimpin kalian.’ Maka semua manusia bersuara dengan satu suara seraya mengatakan, Sungguh kami telah memilih engkau wahai Amirul Mukminin, dan kami telah ridho denganmu, maka jalankan amanah ini semoga Allah memberkahimu.’ Maka tatkala semua suara telah mereda dan semua manusia telah ridho dengan kepemimpinan beliau lalu beliau memuji 19 Abdullah bin Abdul Hakam, Biografi Umar bin Abdul Aziz….., hlm. 47. 20 Ibid. hlm. 47. 268 ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013 Allah, menyanjung-Nya, dan bershalawat kepada Nabi Saw, lalu dia mengatakan, Sesungguhnya aku berwasiat agar kalian senantiasa bertakwa kepada Allah karena takwa kepada-Nya akan menjaga diri dari segala sesuatu, beramallah untuk akhirat kalian, karena barang siapa yang beramal untuk akhiratnya maka Allah akan mencukupkan urusan dunianya .... Wahai sekalian manusia, kepada pemimpin yang taat kepada Allah maka kalian wajib menaatinya dan kepada pemimpin yang bermaksiat kepada-Nya maka kalian wajib tidak menaatinya, maka taatilah aku selama aku menaati Allah dan bila aku bermaksiat kepada-Nya maka janganlah kalian menaatiku.’”21 E. Kecintaan Umar Bin Abdul Aziz Kepada Hadis Setelah Nabi wafat, berita-berita tentang penilaian, pendapat dan praktiknya tentu saja memainkan peran yang penting dalam pembuatan keputusan dalam komunitas muslim awal, setidaknya di wilayah-wilayah di mana Nabi pernah mengekspresikan pandangan-pandangan yang diketahui secara umum. Selama masa kehidupan Nabi, sebagian pengikutnya meminta pendapatnya tentang berbagai macam masalah sebagai bentuk kepatuhan terhadap perintah Al-Quran, Wahai orang-orang beriman … patuhilah rasul Muhammad’, dan Kalian mempunyai contoh yang baik dalam diri Rasulullah’. Setelah wafatnya, bisa dipahami jika para Sahabat berkeinginan untuk menyampaikan informasi-informasi tersebut kepada umat Islam yang baru meluas menjadi komunitas muslim. Namun tidak semua sahabat nabi setuju dengan penulisan hadis ini, sebutlah Abu bakar dan Umar bin Khattab yang cenderung sangat membatasi penulisan hadis karena kuatir bercampur dengan al-Qur’an. Hal ini bisa dimaklumi karena pada dasarnya mereka hidup di zaman yang masih sangat dekat dengan nabi dan masih belum terlalu membutuhkan penulisan hadis. Kendati demikian ada beberapa sahabat yang memiliki shahifah dan menulis hadis rasulullah, dan dalam berbagai literatur, tulisan pada masa sahabat dan masa tabiin senior ini kemudian menjadi salah satu rujukan paling utama Namun ketika Islam semakin meluas dan pada babakan berikutnya mulai banyak pemalsuan hadis, maka penulisan hadis mulai dibutuhkan. Pada masa tabiin, 21 Ibid., hlm. 50-51. Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis 269 kebutuhan akan hadis semakin nyata seiring dengan semakin banyak sahabat Rasulullah yang wafat. Umar bin Abdul Aziz meriwayatkan hadis dari beberapa sahabat dan tabiin. Misalnya, ayahnya sendiri, Anas bin Malik, Ibnu Umar, Ibnu Ja’far, Said bin Musayyib, Ibnu Farizh, Urwah bin Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman,22 Ibnu Abi Salamah, Ibnu Salam, dan Saib bin Uhkt Namr, salah seorang sahabat yang diusap kepalanya dan melaksanakan haji wada’ bersama Dalam hemat kami, pembentukan rasa cinta dan keinginan untuk mengkodifikasi hadis pada masa Umar II menjadi khalifah telah terbentuk ketika dia berada di Medinah, baik ketika belajar maupun ketika menjadi gubernur Medinah. Latar belakang kehidupan Umar II di Medinah kemudian inilah yang menurut kami membuat dirinya menginstruksikan pengumpulan hadis di masa kekhalifahannya. Sedangkan murid-muridnya antara lain, Ibrahim bin Abi Ublah Syamr bin Yaqzan bin Umar bin Abdullah, Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm, Ishaq bin Rusyd, Ismail bin Abu Hakim, Ayyub bin Abu Tamimah Kaisan, Ja’far bin Barqan, Hamid bin Abu Hamid, Daud bin Abi Hindun, Yahya bin Atiq, Sahm bin Yazid, dan Ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah pada tahun 99 H, Umar memerintahkan para ulama hadis untuk mencari hadis nabi. Umar II sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Maka tergeraklah dalam hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H. Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada gubernur Medinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm agar membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat pada para penghafal. Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm yang berbunyi 22 Al-Suyuti, Tarikh Khulafa’……, hlm. 280. 23 Abu al-Farah Abdul Rahman Ibn al-Jauzi, Siiratu wa manaaqibu Umar bin Abdil Aziz……, hlm. 18-20. 24 Al-Bukhari, Shahih Bukhari, dalam CD Mausuah Maktabah Syamilah. 270 ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013  Artinya“Umar bin Abdul Aziz menulis kepada Abu Bakr bin Hazm Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah. karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan.”25Di samping kepada gubernur Medinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Al-Zuhri. Kemudian Al-Zuhri mulai melaksanakan perintah khalifah tersebut. Dalam berbagai literatur, al-Zuhri merupakan salah satu ulama yang pertama kali membukukan hadis. Al-Zuhri pernah mengatakan, “Kami diperintahkan Umar bin Abdul Aziz untuk menghimpun hadis. Kami pun menuliskannya pada daftardemi daftar, lalu dikirim ke seluruh wilayah kekuasaan Islam masing-masing satu daftar.” Kata daftar di sini berarti kumpulan besar hadis. pada dasarnya naskah hadis yang telah ditulis oleh Al-Zuhri jumlahnya bukan hanya satu, tetapi cukup banyak. Di antaranya adalah a Juz’ yang disampaikan secara munawalah kepada Ibn Juraij; b Shahifah yang diberikan kepada Abd al-Rahman ibn Amr al-Auza’i; c Nuskhah yang disimpan oleh Abd al-Rahman ibn Namirah al-Yahsubiy; d Kitab besar yang disimpan oleh Abd al-Rahman ibn Yazid; e Shahifah berisi sekitar tiga ratus hadis yang ditulis oleh Hasyim ibn Basyir dari Al-Zuhri; f Shahifah yang dimiliki oleh Sulaiman ibn Katsir; g Shahifah yang diserahkan kepada Ubaidullah ibn Amr untuk disalin dan diriwayatkan; h Nuskhahyang dimiliki oleh Zakariya ibn Isa; i Shahifah berisi sekitar tiga ratus hadis yang khusus 25 Nabia Abbots, Studies in Arabic Literary Papyri 11, Chicago, 1967, hlm. 64. Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis 271 untuk Al-Zuhri sendiri; dan j Kitab yang disimpan oleh Ibrahim ibn Dalam versi yang lain, memang dalam kapasitasnya sebagai seorang khalifah, Umar bin Abdul al-Aziz pernah mengeluarkan surat perintah secara resmi yang ditujukan kepada seluruh pejabat dan ulama di berbagai daerah agar seluruh hadis yang tersebar di masing-masing daerah segera dihimpun. Surat itu antara lain dikirim kepada gubernur Medinah, Ibn Hazm Abu Bakr ibn Muhammad ibn Amr w. 117 H. Isi dari surat itu adalah 1 khalifah merasa khawatir akan punahnya pengetahuan hadis karena kepergian para ulama; dan 2khalifah memerintahkan agar hadis yang ada di tangan Amrah bint Abd al-Rahman segera Namun sayangnya, sebelum Ibn Hazm berhasil menyelesaikan tugasnya, khalifah telah meninggal dunia. Kemudian, penggantinya, Yazid II Yazid bin Abdul Malik membebastugaskan Ibn Hazm sebagai gubernur Medinah, sehingga dia menghentikan tugasnya, berikut orang-orang yang membantunya dalam penulisan hadis juga turut berhenti. Penulisan hadis baru dimulai lagi secara aktif ketika Hisyam bin Abdul Malik menjadi khalifah, dan itu diteruskan oleh Al-Zuhri. Sebenarnya Ibn Syihab Al-Zuhri w. 124 H, seorang ulama besar di negeri Hijaz dan Syam, juga mendapatkan surat serupa dari Umar bin Abdul Aziz. Al-Zuhri berhasil melaksanakan tugas penghimpunan hadis sebelum khalifah Umar II meninggal dunia. Kompilasi hadis dari Al-Zuhri ini bagian-bagiannya segera dikirim ke berbagai daerah untuk bahan penghimpunan hadis Kemudian sepeninggal Umar bin Abdul Aziz, Al-Zuhri masih terus melakukan tugas penulisan atau penghimpunan hadis dan mendapat dukungan baru dari khalifah Yazid II yang 26 Ahmad, Dala’il Tautsiq,hlm. 493. Lihat pula, Saifuddin, Arus Tadwin Hadis dan Historiografi Islam, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2011. 27 al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz I, hlm. 71; al-Darimiy, Sunan al-Darimiy, jilid I, hlm. 126; Ibn Saad, Thabaqat al-Kubra, jilid II, hlm. 387; al-Baghdadiy, Taqyid al-Ilm, hlm. 105-106. 28 Ibn Abd al-Barr, Jami Bayan al-Ilm, juz I, hlm. 76. Sebagian sumber menyebutkan bahwa proses kompilasi dan kodifikasi tadwin hadis yang dilakukan oleh Al-Zuhri adalah dengan cara menghimpun hadis-hadis yang berkisar pada satu tema dan masing-masing tema disusun dalam satu karya kitab tersendiri. Sebut saja sebagai contoh, kitab tentang salat, kitab tentang zakat, kitab tentang puasa, dan kitab tentang talak. Lihat Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun, hlm. 128-129; Ahmad Umar Hasyim, Qawaid Ushul al-Hadits, Beirut Dar al-Fikr, hlm. 241. Dari sini, tidak mengherankan jika Al-Zuhri juga dilaporkan memiliki kitab khusus yang menghimpun hadis-hadis tentang sirah dan maghaziy. 272 ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013 mengangkatnya sebagai hakim, lalu dari khalifah Hisyam ibn Abd al-Malik. Bahkan, khalifah Hisyamlah yang telah mendorongnya agar serius menuliskan hadis untuk kepentingan pangeran muda, para sekretaris peradilan, dan untuk memperkaya perpustakaan F. Hadis dan Umar bin Abdul Aziz Eksternalisasi, Objektivasi, dan Internalisasi Perjalanan hadis dari masa periode wahyu hingga pra kodifikasi mengalami proses-proses yang luar biasa. Pada masa khulafaur rasyidin pertama hingga ketiga, hadis masih terjaga dan belum banyak perjalanan lawatan pencarian karena sangat banyak sahabat yang masih hidup. Agak berbeda ketika pada masa setelah Utsman, para sahabatpun mulai berhati-hati dalam menerima hadis yang diterima dan belum pernah didengarnya karena peristiwa pembunuhan Utsman. Pada masa Ali lebih parah lagi, Umat Islam terpecah menjadi beberapa kelompok, dan mulai ada pemalsuan hadis. Hal semakin diperparah pada masa Muawiyah, pemalsuan semakin kentara dan bahkan mulai abad 41 H adalah masa-masa permulaan pemalsuan hadis. Sehingga hadis sebagai sumber pengetahuan Islam mulai tercemari. Sementara itu, Umar bin Abdul Aziz adalah laki-laki yang hidup dalam rahim zaman yang seperti itu. Hanya saja masa remaja Umar ada di Madinah yang tidak terlalu dicekoki oleh hiruk pikuk dunia perpolitikan seperti di Damaskus dan Kufah. Miliu Madinah nampaknya berpengaruh betul dan melandasi latar belakang intelektualnya sebagai seorang khalifah sekaligus ilmuan. Masyarakat Madinah merupakan masyarakat Rasul yang menjadi kiblat bagi-orang-orang yang ingin mempelajari hadis rasul pada masa itu. Hal ini setidaknya bisa dibuktikan bahwa, tokoh-tokoh hadis sekaliber pengarang Kutubut Tis’ah, menunjukkan bahwa Madinah merupakan daerah yang sama sekali tidak pernah dilewatkan oleh para pencari hadis Sementara itu, disamping lahir di Madinah,31 Umar bin Abdul Aziz menjadi gubernur Madinah selama kurang lebih 7 tahun, 29 Abbot, Arabic Literary Papyri, hlm. 33. 30 Syauqi Abu Khalil, Athlas Hadis Nabawi, Damaskus Dar al-Fikr, 2005, hlm. 9-16. 31 Firdaus Kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Jakarta Pedoman Ilmu jaya, 1988 hlm. 54. Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis 273 sehingga dia sangat paham dengan pengetahuan masyarakat Madinah pada waktu itu, lebih-lebih tentang hadis. Dalam pandangan Berger dan Luckhmann, masyarakat merupakan sebuah kenyataan objektif yang di dalamnya ada proses pelembagaan yang dibangun atas pembiasaan habituation. Pembelajaran hadis di Madinah sangat mungkin terekam kuat di benak Umar bin Abdul Aziz sehingga menjadi pengalaman empirik yang mengendap dan tersimpan dalam kesadaran yang kemudian diwariskan dan diinstruksikan ketika dia menjadi khalifah. Di Madinah, saat menjadi Gubernur, dia melakukan apa yang disebut Berger sebagai Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia kedalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Proses ini merupakan bentuk ekspresi diri untuk menguatkan eksistensi individu dalam masyarakat. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai produk manusia Society is a human product. Kehidupan pada Dinasti Umayyah yang serba mewah dan tak kurang suatu apa serta munculnya berbagai bentuk hadis palsu yang disebabkan oleh politik aliran menyebabkan dia berpikir mengenai bagaimana seharusnya yang dilakukan oleh para pencari hadis pada waktu itu yang masih bergantung pada individu-individu dan belum bergantung pada negara. Tampaknya masa-masa Madinah merupakan proses refleksi dan perenungan Umar bin Abdul Aziz mengenai bagaimana pencarian hadis seharusnya dilakukan. Sehingga ketika dia diangkat sebagai sebagai khalifah, salah satu gebrakan yang muncul adalah melakukan tadwin hadis resmi dari negara. Pada tahap ini ia melakukan proses institusionalisasi tadwin hadis melalui negara khalifah. Di sini penulis berpendapat bahwa bagi Umar, hanya melalui institusi negaralah Hadis bisa diselamatkan. Hal ini terbukti dengan ucapannya “Perhatikanlah hadis Rasulullah SAW., lalu tulislah. Karena aku mengkhawatirkan lenyapnya ilmu itu dan hilangnya para ahli” “Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah. karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan.” 274 ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013 Pada tahap ini jika meminjam Berger, Umar bin Abdul Aziz melakukan Objektivikasi, yakni hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan dan proses eksternalisasi manusia tersebut. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai realitas yang objektif Society is an objective reality, atau proses interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Para pencari hadis, sebagai bagian dari masyarakat, terutama para tokoh yang diberikan tugas melakukan pencarian terhadap hadis lalu membukukannya menjadi satu bendel. Salah satu yang berhasil melakukannya adalah Ibnu Syihab al-Zuhri. Kemudian dalam perjalanannya, kodifikasi/tadwin hadis yang diperintahkan oleh Umar bin Abdul Aziz menjadi kenyataan, terutama setelah Ibnu Syihab al-Zuhri merampungkan perintah tersebut. Kitab ini kemudian menjadi pegangan dan dipelajari oleh para pencari hadis setelahnya yang kemudian menjadi satu sumber kekuatan baru dan menginspirasi para pencari hadis setelahnya, atau dalam bahasa Pierre Bourdie, hasil kodifikasi hadis tersebut melahirkan berbagai bentuk struktur baru Structuring structure dari tangan-tangan muhaddis setelahnya, misalnya munculnya berbagai bentuk kitab hadis dan mengalami titik kemajuannya ketika lahir kutubut sittah. G. Simpulan Dari tulisan ini dapat disimpulkan beberapa hal, pertama, bahwa Umar bin Abdul Aziz adalah sosok manusia yang lahir dari rahim zamannya, yakni zaman Dinasti Umayyah yang dipenuhi oleh keserbamewahan, banyak hadis palsu yang dibuat untuk memperkuat golongan atau kelompok tertentu. Namun miliu Madinah banyak berpengaruh pada khalifah yang satu ini sehingga ketika kembali ke Damaskus ia memerintahkan agar hadis-hadis Rasulullah ditulis dan dikumpulkan. Kedua, proses kodifikasi hadis yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz tidak berangkat dari ruang hampa. Proses eksternalisasinya dimulai semenjak hidup di lingkungan istana Umayyah yang serba mewah lalu ia menghirup suasana segar Madinah dengan belajar dan berguru pada tokoh-tokoh hadis dan fiqih terkemuka lalu ia diangkat menjadi Gubernur Madinah hingga akhirnya ia menjadi khalifah. Kemudian proses objektivikasi terjadi ketika ia menjadi khalifah dan memerintahkan secara resmi agar hadis dibukukan setelah sebelumnya hadis berada di tangan-tangan individu para ahli hadis. Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis 275 Sehingga ketika terkumpul, maka kumpulan hadis tersebut mengalami proses internalisasi yang menumbuhkan minat para pencari hadis semakin bergairah dalam menulis dan mengumpulkannya dalam berbagai bentuk yang lain yang berbeda dengan yang sebelumnya. Proses ini kemudian mengalami kemajuan pesatnya ketika muncul kutubut sittah yang menjadi rujukan umat Islam hingga saat ini. Wallahu a’lam. Daftar Pustaka Abbots, Nabia, Studies in Arabic Literary Papyri 11, Chicago, 1967. Abdillah, Abu Ya’la al-Kholil bin, Al-Irsyad fi Ma’rifati Ulama al-hadits, dalam CD Maktabah Syamilah. al-Atsari, Abu Faiz, “Umar bin Abdul Aziz, Khalifah Pembela Sunnah dan Penegak Keadilan,” Majalah Al-Furqon Ed 11 Th. Ke-10, 1432 H. al-Barr, Ibn Abd, Jami Bayan al-Ilm, juz I, Al-Bukhari, Shahih Bukhari, dalam CD Mausuah Maktabah Syamilah. al-Shallabi, Ali Muhammad Muhammad, Al-Khalifah al-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdil Aziz, tp. tt. al-Shareef, Mohammad Musa, diunduh pada 20 Oktober 2012. Al-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, terj. Fachry, Jakarta Hikmah, 2010. Ash-Shiddiqy, Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang Pustaka Rizki Putra, 2009 Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality A Treatise in The Sociology of Knowledge, England Penguin, 1991. Firdaus Kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Jakarta Pedoman Ilmu jaya, 1988. Hakam, Abdullah bin Abdul, Biografi Umar bin Abdul Aziz Penegak Keadilan, terj. Habiburrahman Syaerozi, Jakarta Gema Insani Press, 2002. 276 ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013 Ibn al-Jauzi, Abu al-Farah Abdul Rahman, Siiratu wa manaaqibu Umar bin Abdil Aziz, Iskandariyah Daar Ibnu Khaldun, 1996. Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, Khalil, Syauqi Abu, Athlas Hadis Nabawi, Damaskus Dar al-Fikr, 2005. Saifuddin, Arus Tadwin Hadis dan Historiografi Islam, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2011. ... Selain itu, beliau juga menjadi ikutan bagi rakyatnya disebabkan yang zuhud dan melaksanakan tanggungjawab dengan baik Toqus, 2010. Kecintaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz kepada ilmu agama sehingga ia memutuskan untuk menginisiasi pembukuan hadis Nabi Muhammad Qudsy, 2013. Selian itu, beliau juga menjadi Khalifah yang mencatatkan sejarah beridirinya pusat studi ilmu yang disebut dengan baitul hikmah dan juga tempat koperasi umat dengan baitul malnya yang dikelola untuk kepentingan rakyatnya. ...Izzah Naqibah Bin KamisMuhammed Sahrin Bin Haji MasriUmara and Ulama are two groups who are very influential and has very basic relationships on the State of Brunei Darussalam's growth. Basically, Ulama are known as someone who inherits Anbiya's character, they play a role as murshid in Malay society. This phenomenon has been explained by the importance of their names in some rare materials such as manuscripts, stones and artifacts, hikayat and so on. But The Ulama rarely present it as a poetic/syair approach. The work of "Shaer Yang Di-Pertuan" is one of the poems/syair ever written and can be considered as the most important part of Brunei Darussalam. This poems/syair was written by Pehin Royal Khatib Awang Abdul Razak bin Hasanuddin, a famous Ulama from Brunei, around the late 19th and early 20th centuries. This poems/syair was produced by Pehin Siraja Khatib Awang Abdul Razak bin Hasanuddin, a famous Brunei Ulama around the end of the 19th century and the beginning of the 20th century. There are many important events during the reign of Sultan Muhammad Jamalul Alam II 26th Sultan of Brunei featured in this poems/syair. Based on it background, this study will explain some of the key components of the "Syaer Yang Di-Pertuan". In addition, there are some explanations of how the umara-ulama relationship works at the same time will highlight some of the ulama who involved directly. This is because they have a significant influence on the struggle that took place at that time, especially in spreading Islam in the NBD and its role in the development of nationalism and governance in Brunei DarussalamMoh. Yusni Amru GhozalySo far, the focus of the ummah on the study of the methodology used by the ulemas in taking their position as their thought process in producing legal products has not been carried out too muc, In fact, the methodology of the Ulama II-XIII is the core of ijtihad which must be explored to be studied and developed in order to answer the contemporary problems of the growing ummah. This article aims to explore and examine the methodological components used by the Ulama in that period. Through these components, the author also describes the development of methodology from time to time, related to concepts, styles, to the author's fanatical tendencies in their works. Based on literature research with a content analysis approach, the authors identify and select books that fall into the category of fiqh al-hadith. The writer finds the conclusion that the presence of the works of scholars of the II-XIII centuries dominantly influenced the development of methods of understanding hadith from time to time. From their work it can be seen the tendency of the schools of the Salaf scholars to draw legal conclusions methodologically, making it easier for contemporary hadith reviewers to read the jurists' thought maps and the stages of their istinbat from time to time. The study of fiqh al-hadis is growing after the emergence of hadith books using the tabwib al-fiqh method. [Selama ini fokus para sarjana hadis dan pengkaji Islam terhadap kajian metodologi yang digunakan para ulama dalam beristinbat sebagai proses berpikir mereka dalam melahirkan produk hukum, belum terlalu banyak dilakukan. Padahal, metodologi ulama salaf abad II-XIII Hijriyah adalah core ijtihad yang harus digali untuk dipelajari dan dikembangkan demi menjawab problem-problem kontemporer umat yang terus bertambah. Artikel ini bertujuan untuk menggali dan mengkaji komponen metodologi yang digunakan oleh ulama dalam periode tersebut. Melalui komponen-komponen tersebut, penulis juga menguraikan perkembangan metodologi dari masa ke masa, terkait konsep, corak, hingga kecenderungan fanatis pengarang dalam karya-karya mereka. Berbasis penelitian pustaka dengan pendekatan analisis konten, penulis mengidentifikasi dan memilih kitab-kitab yang masuk dalam kategori fiqh al-hadis,. Penulis menemukan kesimpulan bahwa kehadiran karya-karya ulama abad II-XIII , secara dominan memengaruhi perkembangan metode memahami hadis dari masa ke masa. Dari karya mereka dapat diketahui kecenderungan mazhab para ulama salaf dalam mengambil kesimpulan hukum secara metodologis, sehingga memudahkan para pengkaji hadis masa ini untuk membaca peta pemikiran fuqaha dan tahapan istinbat mereka dari masa ke masa. Kajian fiqh al-hadis semakin berkembang pasca munculnya kitab-kitab hadis dengan metode tabwib al-fiqh.]Naufal Aulia HanifNisrina Aidaturahma HusniaThis article attempts to describe the characteristics of one of the hadith books that appeared in the Middle Ages by introducing one of the hadith books that were successfully compiled. Namely, the book Mishkāt al-Maṣābīh by Abu Abdillah al-Tibrizi. Even though it is a secondary hadith book which is rarely studied and researched in the current era, the role of the data in the the book is very important to be elaborated with historical data that the authors found to describe the trend of the development of hadith in the Middle Ages. In this qualitative research, the author used a descriptive-analytical method with a literature study model to look for the characteristics and features of Misykāt al-Maṣābīh}in the development of hadith studies. For this reason, this article raises several important issues regarding the object discussed. First, a general discussion about the development of medieval hadith to describe the position of this book in the midst of the social conditions of society at that time. Second, a discussion of the biography and intellectual journey of Abu Abdillah al-Tibrizi. Third, a special discussion of the method and systematics of compiling the book and its advantages and disadvantages. The author finds that Abu Abdillah al-Tibrizi contributed to the development of hadith by providing additional information about the names of narrators and cutting narrators only at the companion level, in addition to introducing three categorizations in composing hadith as an innovation that emerged. [Artikel ini berusaha memaparkan karakteristik dari salah satu kitab hadis yang muncul pada abad pertengahan dengan mengenalkan salah satu kitab hadis yang berhasil disusun, yaitu kitab Misykāt al-Maṣābīh} karya Abu Abdillah al-Tibrizi. Walaupun termasuk kitab hadis sekunder yang jarang dikaji dan diteliti di era sekarang, peran data-data dalam kitab tersebut sangat penting dielaborasikan dengan data historis yang penulis temukan. Untuk menggambarkan tren perkembangan hadis pada abad pertengahan. Dalam penelitian kualitatif ini, penulis menggunakan metode deskriptif-analitis dengan model kajian kepustakaan untuk mencari karakteristik dan keistimewaan kitab Misykāt al-Maṣābīh} dalam perkembangan kajian hadis. Untuk itu, artikel ini mengangkat beberapa persoalan penting mengenai objek yang dibahas. Pertama, pembahasan secara umum seputar perkembangan hadis abad pertengahan untuk menggambarkan posisi kitab ini di tengah kondisi sosial masyarakat ketika itu. Kedua, pembahasan mengenai biografi dan perjalanan intelektual Abu Abdillah al-Tibrizi. Ketiga, pembahasan khusus mengenai metode dan sistematika penyusunan kitab serta kelebihan dan kekurangannya. Penulis menemukan bahwa Abu Abdillah al-Tibrizi turut berkontribusi dalam perkembangan hadis dengan memberikan tambahan info mengenai nama perawi dan memotong rawi hanya pada tingkat sahabat saja selain mengenalkan tiga kategorisasi dalam menyusun hadis sebagai sebuah inovasi yang dimunculkan.]Aisyatur RosyidahNur KholisJannatul HusnaJejak studi hadits patut menjadi perbincangan penting dalam diskursus keilmuan Islam, terutama banyaknya idiologi sarjana barat yang mendiskreditkan peran sahabat dalam transmisi wahyu berupa Hadits Nabi SAW. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan perkembangan Hadits ditinjau dari peran para sahabat dalam membawa transmisi Hadist Nabi SAW hingga terkodifikasi secara sistematis saat ini. Adapun penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif-analitis. Hasil dalam penelitian ini adalah bahwa peran sahabat dalam periodisasi transmisi Hadits sudah dimulai sejak Nabi SAW masih hidup hingga berakhirnya masa sahabat pada abad ke 2 Hijriah. Pencatatan Hadits sudah dimulai pada masa Nabi SAW. Hal ini dibuktikan dengan catatan para sahabat meskipun belum terkodifikasi secara sistematis. Catatan para sahabat ini menandakan adanya proses validitas Hadits yang sudah dilakukan oleh para sahabat. Ini sekaligus menjawab tuduhan para sarjana barat terkait kualifikasi sahabat yang tidak ma’shum tetapi mampu mentransmisikan wahyu Nabi SAW hingga terkodifikasi sistematisKaharuddin KaharuddinSyafruddin SyafruddinHadis termasuk rangkaian sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW, sahabat, dan masyarakat sekitarnya. Fakta historis ini pun harus dipahami, karena kedudukan hadis dalam doktrin skriptual Islam merupakan pedoman yang kedua dari Al-Qur’an dalam kehidupan masyarakat, sahabat sekitarnya maupun masyarakat yang hidup sampai hari ini. Meskipun hasus diketahui bahwa dalam sejarah perkembangan hadis di antara para ulama masih terjadi perbedaan dalam menyusun periodesasi perkembangan hadis. Tetapi banyak yang menguraikannya menjadi periodesasi, seperti masa Rasulullah, sahabat, tabi’in, masa pentadwinan atau pembukaan, masa seleksi atau penyaringan hadis serta masa sesudahnya. Dari beberapa periodesasi itu menunjukkan bahwa keberadaan hadis tidak terlepas dari peranan masyarakat sekitar Nabi, khususnya para sahabat. Peran para sahabat dalam membentuk hadis sangat vital dikerenakan mereka adalah subyek sekaligus objek sejarah secara langsung yang mempengaruhi pembentukan dan keberadaan hadis Nabi Muhammad SAW. Muhammad Alfatih SuryadilagaGender sebagai sebuah diskursus perkembangan pemikiran yang baru hadir mewarnai kajian keislaman termasuk dalam hal ini kajian hadis. Kenyataan tersebut setidaknya dapat dilihat dalam kajian yang berada di jurnal-jurnal PTKI secara umum maupun jurnal-jurnal yang dibawah Pusat Studi Gender/Wanita. Kajian gender dalam hadis mengikuti pola yang ada dalam kajian studi hadis secara umum yang meliputi tiga bentuk utama yakni kajian ilmu hadis, penelitian hadis dan pemaknaan hadis berikut perkembangannya. Demikian juga kajian hadis dan gender di dalamnya berisikan fenomena keilmuan atas gender dan hadis, penelitian atas hadis dan kitab-kitabnya serta pemahaman hadis tertentu baik dalam dimensi teks-teks dalam hadis maupun non teks yang berada di masyarakat yang dikenal dengan living hadis. Apa yang digagas dalam pemahaman hadis dan gender ini sebenarnya adalah mengembalikan ruh ajaran Islam sesuai dengan al-Qur’an dan hadis. Walaupun ada yang menolak keberadaan gender dalam tradisi Islam, maka dimensi keberadaan persamaan laki-laki dan perempuan merupakan dimensi yang diajarkan dalam Islam. Secara tidak langsung, maka kajian gender dan hadis merupakan upaya untuk menghidupkan misi kenabian Muhammad saw. yang sangat menjunjung perempuan. Perempuan dan laki-laki memilki relasi yang sama di hadapan Allah swt.[Gender is as a discourse of thought development, its contemporary discourse gives a new contribution to Islamic studies, including the study of hadith. This phenomenon is reflected both in several studied of PTKI’s journals in general and journals under supervision of Women/Gender Studies Center. Gender studies in the hadith adopt the study of hadith’s current pattern. In general, there are three main forms of its pattern; the study of hadith, the research of hadith, the interpretation of hadith and its development. Similarly with the study of hadith and gender, inside of them contains about the phenomena of science toward gender and hadith, the research about hadith and its books, and understanding of specific hadith based on text and non-text dimensions inside of society, known as living hadith. The purpose of hadith and gender studies is actually to reconstruct Islamic studies based on Al-Qur’an and hadith. Even though, there are some groups refuse the existence of gender in Islamic tradition, it reminds the same that Islam teaches there is equality dimension of men and women. Indirectly, the study of gender and hadith are an effort to revive the mission of Prophet Muhammad SAW which uphold women’s rights. Women and man have the same relation in front of Allah SWT.]Fatimah Fatimahp> Hadith as the second Islamic teaching has a significant difference with the Qur'an in terms of official bookkeeping. In terms of the preservation of the Qur'an since the beginning of the Qur'an, there has been a decree to keep watch over and be protected from falsehood, but not with the Prophet's hadith. As before the reign of Caliph Umar bin Abdul Aziz even the writing or bookkeeping was prohibited. But after considering some of the impending advances if the hadith was not made up of books, the false hadiths would have arisen from irresponsible people, the death of the companions who had memorized the war, and dispersed the scholars to various territories with their death. Moreover, hadith memorization has become a tradition among the people and the fear of memorization has decreased. It was from these questions that the caliphate of Umar bin Abdul Aziz raised concerns about the bookkeeping in order to preserve and maintain its legitimacy. The official formulation of the hadith dates back to the second century H. under the command of Umar bin Abdul Aziz. Hadith as a teaching of Islam, produced various books of hadith scholars who were born mutaqaddimin and endowed. However in this article the author will focus more on the development of the books of the hadith in the mutaqaddimin period. The period of mutaqaddimin is the period between I H and the third century H, the opening of the hadith of the mutaqaddimin period from the end of the second century H to III H. In this period of mutaqaddimin the books of the hadith were born by the scholars including first, the century to II H there are many scholars who produce the book of the hadith, among them the most famous is the book of hadith of the priest of Malik called the book of Muwaththa 'Malik. Secondly, in the third century H the books of the hadith were born including the Book of Sahih Bukhari, the Book of Muslim Tradition, the Book of Sunan Abu Dawud, the Book of Sunan At-Tirmidzi, the Book of Sunan An-Nasa'iy, the Book of Sunan Ibn Majah and others. The writing of this journal uses the library research method that the author has obtained from various reading sources related to this research. Kodifikasihadits secara resmi dilakukan pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz yaitu pada tahun 99-101 hijriah. Khalifah Umar bin Abdul Aziz merasa sedih dan prihatin dikarenakan pada masa itu banyak para penghafal hadits yang wafat di medan perang sedangkan hadits-hadits belum sepenuhnya ditulis dan dibukukan.
I. PENDAHULUAN Al-Hadith merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qur’an. Keberadaan al-Hadith merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Qur’an. Sedangkan al-Hadith, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Qur’an itu sendiri. Kendati demikian, keberadaan al-Hadith dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur’an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah. Sementara itu, perhatian terhadap al-Hadith tidaklah demikian. Upaya kodifikasi al-Hadith secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadith. Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang definisi kodifikasi hadith, sejarah kodifikasi hadith dan faktor- faktor pendorong kodifikasi hadith. II. PEMBAHASAN A. DEFINISI KODIFIKASI HADITH Kodifikasi atau tadwin hadith secara resmi di sinonimkan dengan tadwin al hadith Rasmiyan, tentunya akan berbeda dengan penulisan hadith atau kitabah al hadith. Secara etimologi kata kodifikasi berasal kata codification yang berarti penyusunan menurut aturan/ sistem tertentu.[1] Atau dari kata tadwin dapat berarti perekaman recording, penulisan writing down, pembukuan booking, pendaftaran listing, registration. Lebih dari itu, kata tadwin juga berarti pendokumentasian, penghimpunan atau pengumpulan serta penyusunan. Maka kata tadwin tidak semata- mata berarti penulisan, namun ia mencakup penghimpunan, pembukuan dan pendokumentasian.[2] Adapun kata rasmiyan secara resmi mengandung arti bahwa suatu kegiatan dilakukan oleh lembaga administratif yang diaukui oleh masyarakat, baik langkah yang ditempuh tersebut diakui atau tidak oleh masyarakat itu sendiri. Jadi yang dimaksud dengan kodifikasi hadith secara resmi adalah penulisan hadith nabi yang dilakukan oleh pemerintah yang disusun menurut aturan dan sistem tertentu yang diakui oleh masyarakat. Adapun perbedaan antara kodifikasi hadith secara resmi dan penulisan hadith adalah a. Kodifikasi hadith secara resmi dilakukan oleh suatu lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, sedang penulusan hadith dilakukan oleh perorangan. b. Kegiatan kodifikasi hadith tidak hanya menulis, tapi juga mengumpulkan, menghimpun dan mendokumentasikannya. c. Tadwin hadith dilakukan secara umum yang melibatkan segala perangkat yang dianggap kompeten terhadapnya, sedang penulisan hadith dilakukan oleh orang- orang tertentu.[3] B. SEJARAH KODIFIKASI HADITH Ide penghimpunan hadith nabi secara tertulis untuk pertama kali dikemukakan oleh Khalifah Umar bin al Khattab H=633 M. Ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena Umar merasa khawatir umat Islam akan terganggu perhatiannya dalam mempelajari al Qur’an. Pembatalan niat Umar untuk menghimpun hadith nabi itu dikemukakan sesudah beliau melakukan sholat Istikharah selama satu bulan. Kebijaksanaan Umar dapat dimengerti karena pada zaman Umar daerah Islam telah semakin luas dan hal itu membawa akibat jumlah orang yang baru memeluk Islam semakin bertambah banyak.[4] Memasuki periode tabi’in, sebenarnya kekhawatiran membukukan/ kodifikasi hadith tidak perlu terjadi, justru pada periode ini telah bertabur hadith- hadith palsu yang mulai bermunculan setelah umat Islam terpecah menjadi golongan- golongan, yang semula berorientasi politik berubah menjadi faham keagamaan, seperti Khawarij, Syi’ah, murji’ah, dan lain- lain. Perpecahan ini terjadi sesaat setelah peristiwa tahkim yang merupakan rentetan peristiwa yang berasal dari terbunuhnya khalifah Umar bin Affan ra. Untuk mengukuhkan eksistensi masing- masing golongan mereka merasa perlu mencipta hadith palsu.[5] Kemudian semua karya tentang hadith dikumpulkan pada paruh akhir abad ke- 2H/ 8M atau selama abad ke-3/9M. Berbagai catatan sejarah menunjukkan bahwa di seputar awal abad ke-2H, sejumlah kecil muhadditsun ahli hadith telah mulai menulis hadith, meskipun tidak dalam himpunan yang runtut. Belakangan koleksi kecil ini menjadi sumber bagi karya-karya yang lebih besar. Meskipun begitu kebanyakan hadith yang ada dalam himpunan- himpunan besar disampaikan melalui tradisi lisan. Sebelum dicatat dalam himpunan- himpunan tersebut belum pernah dicatat di tempat manapun.[6] Ada beberapa pendapat yang berkembang mengenai kapan kodifikasi secara resmi dan serentak dimulai. 1 Kelompok Syi’ah, mendasarkan pendapat Hasan al-Sadr 1272-1354 H, yang menyatakan bahwa penulisan hadis telah ada sejak masa Nabi dan kompilasi hadis telah ada sejak awal khalifah Ali bin Abi Thalib 35 H, terbukti adanya Kitab Abu Rafi’, Kitab al-Sunan wa al-Ahkam wa al-Qadaya.. 2 Sejak abad I H, yakni atas prakarsa seorang Gubernur Mesir Abdul Aziz bin Marwan yang memerintahkan kepada Kathir bin Murrah, seorang ulama Himsy untuk mengumpulkan hadis, yang kemudian disanggah Syuhudi Ismail dengan alasan bahwa perintah Abdul Aziz bin Marwan bukan merupakan perintah resmi, legal dan kedinasan terhadap ulama yang berada di luar wilayah kekuasaannya. 3 Sejak awal abad II H, yakni masa Khalifah ke-5 Dinasti Abbasiyyah, Umar ibn Abdul Aziz yang memerintahkan kepada semua gubernur dan ulama di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan hadith- hadith Nabi. Kepada Ibnu Shihab al-Zuhri, beliau berkirim surat yang isinya” Perhatikanlah hadis Rasulullah SAW., lalu tulislah. Karena aku mengkhawatirkan lenyapnya ilmu itu dan hilangnya para ahli” dan kepada Abu Bakar Muhammad ibn Amr ibn Hazm, beliau menyatakan “Tuliskan kepadaku hadis dari Rasulullah yang ada padamu dan hadith yang ada pada Amrah Amrah binti Abdurrahman, w. 98 H, karena aku mengkhawatirkan ilmu itu akan hilang dan lenyap.” Pendapat ketiga ini yang dianut Jumhur Ulama Hadis, dengan pertimbangan jabatan khalifah gaungnya lebih besar daripada seorang gubernur, khalifah memerintah kepada para gubernur dan ulama dengan perintah resmi dan legal serta adanya tindak lanjut yang nyata dari para ulama masa itu untuk mewujudkannya dan kemudian menggandakan serta menyebarkan ke berbagai tempat. Dengan demikian, penulisan hadith yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai ditulis pada masa Nabi, baru diupayakan kodifikasinya secara serentak, resmi dan massal pada awal abad II H, yakni masa Umar bin Abdul’Aziz, meskipun bisa jadi inisiatif tersebut berasal dari ayahnya, Gubernur Mesir yang pernah mengisyaratkan hal yang sama sebelumnya. Adapun siapa kodifikator hadis pertama, muncul nama Ibnu Shihab al-Zuhri w. 123 H, karena beliaulah yang pertama kali mengkompilasikan hadith dalam satu kitab dan menggandakannya untuk diberikan ke berbagai wilayah, sebagaimana pernyataannya ”Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada kami menghimpun sunnah, lalu kami menulisnya menjadi beberapa buku.” Kemudian beliau mengirimkan satu buku kepada setiap wilayah yang berada dalam kekuasaannya. Demikian pandangan yang dirunut sebagian besar sejarawan dan ahli Hadith. Adapun ulama yang berpandangan Muhammad Abu Bakr ibn Amr ibn Hazm yang mengkodifikasikan hadith pertama, ditolak oleh banyak pihak, karena tidak digandakannya hasil kodifikasi Ibn Amr ibn Hazm untuk disebarluaskan ke berbagai wilayah. Meski demikian, ada juga yang berpendapat bahwa kodifikator hadith sebelum adanya instruksi kodifikasi dari Khalifah Umar ibn Abdul Aziz telah dilakukan, yakni oleh Khalid bin Ma’dan w. 103 H. Rasyid Ridha 1282-1354 H berpendapat seperti itu, berdasar periwayatan, Khalid telah menyusun kitab pada masa itu yang diberi kancing agar tidak terlepas lembaran-lembarannya. Namun pendapat ini ditolak Ajjaj al-Khatib, karena penulisan tersebut bersifat individual, dan hal tersebut telah dilakukan jauh sebelumnya oleh para sahabat. Terbukti adanya naskah kompilasi hadis dari abad I H, yang sampai kepada kita, yakni al-Sahifah al-Sahihah.[7] Diantara buku-buku yang muncul pada masa ini adalah 1 Al-Muwaththa’ yang ditulis oleh Imam Malik 2 Al-Mushannaf oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani 3 As-Sunnah ditulis oleh Abd bin Manshur 4 Al-Mushannaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaybah, dan 5 Musnad Asy-Syafi’i.[8] Teknik pembukuan hadith- hadith pada periode ini sebagaimana disebutkan pada nama-nama tersebut, yaitu al-mushannaf, al-muwaththa’, dan musnad. Arti istilah-istilah ini adalah a. Al-Mushannaf dalam bahasa diartikan sesuatu yang tersusun. Dalam istilah yaitu teknik pembukuan hadits didasarkan pada klasifikasi hukum fiqh dan didalamnya mencantumkan hadith marfu’, mauquf, dan maqthu’. b. Al-Muwatththa’ dalam bahasa diartikan sesuatu yang dimudahkan. Dalam istilah Al-Muwaththa’ diartikan sama dengan Mushannaf. c. Musnad dalam bahasa tempat sandaran sedang dalam istilah adalah pembukuan hadith yang didaarkan pada nama para sahabat yang meriwayatkan hadith tersebut Tulisan-tulisan hadith pada masa awal sangat penting sebagai dokumentasi ilmiah dalam sejarah, sebagai bukti adanya penulisan hadith sejak zaman Rasululloh, sampai dengan pada masa pengkodifikasian resmi dari Umar bin abdul aziz, bahkan sampai pada masa sekarang.[9] Aktifitas Ulama dalam kodifikasi hadith sejak Abad II H. 1. Kodifikasi Hadith Abad II H. Pada abad kedua, para ulama dalam aktifitas kodifikasi hadith tidak melakukan penyaringan dan pemisahan, mereka tidak membukukan hadith- hadith saja, tetapi fatwa sahabat dan tabi’in juga dimasukkan ke dalam kitab- kitab mereka. Dengan kata lain, seleksi hadith pada abad kedua ini disamping memasukkan hadith– hadith nabi juga perkataan para sahabat dan para tabi’in juga dibukukan, sehingga dalam kitab- kitab itu terdapat hadith- hadith marfu’, hadith mawquf dan hadith maqthu’.[10] 2. Kodifikasi Hadith Abad III H. Abad ketiga Hijriah ini merupakan masa penyaringan dan pemisahan antara sabda Rasulullah dengan fatwa sahabat dan tabi’in. Masa penyeleksian ini terjadi pada zaman Bani Abbasyiyah, yakni masa al- Ma’mun sampai al- Muktadir sekitar tahun 201- 300 H. Periode penyeleksian ini terjadi karena pada masa tadwin belum bias dipisahkan antara hadith marfu’, mawquf, dan maqthu’, hadith yang dhaif dari yang sahih ataupun hadith yang mawdhu’ masih tercampur dengan sahih. Pada saat ini pula mulai dibuat kaidah- kaidah dan syarat- syarat untuk menentukan apakah suatu hadith itu sahih atau dhaif. Para periwayat hadith pun tidak luput dari sasaran penelitian mereka untuk diteliti kejujuran, kekuatan hafalan, dan lain sebagainya.[11] 3. Kodifikasi Hadith Abad IV- VII H. Kalau abad pertama, kedua, dan ketiga, hadith berturut- turut mengalami masa periwayatan, penulisan, pembukuan, serta penyaringan dari fatwa- fatwa sahabat dan tabi’in, yang system pengumpulan hadith nya di dasarkan pada usaha pencarian sendiri untuk menemui sumber secara langsung kemudian menelitinya, maka pada abad keempat dan seterusnya digunakan metode yang berlainan. Demikian pula, ulama yang terlihat pada sebelum abad ke empat disebut ulama mutaqaddimun dan ulama yang terlibat dalam kodifikasi hadith pada abad keempat dan seterusnya disebut ulama mutaakhirin. Pembukuan hadith pada periode ini lebih mengarah pada usaha mengembangkan variasi pen- tadwin– an terhadap kitab- kitab hadith yang sudah ada. Maka, setelah beberapa tahun dari kemunculan al kutub al- sittah, al- Muwaththa’ Imam Malik ibn Anas, dan al Musnad Ahmad ibn Hanbal, para ulama mengalihkan perhatian untuk menyusun kitab- kitab yang berbentuk jawami’, takhrij, athraf, syarah, dan mukhtashar, dan menyusun hadith untuk topik- topik tertentu.[12] 4. Kodifikasi Hadith Abad VII- sekarang. Kodifikasi hadith yang dilakukan pada abad ketujuh dilakukan dengan cara menertibkan isi kitab- kitab hadith, menyaringnya, dan menyusun kitab- kitab takhrij, membuat kitab- kitab jami’ yang umum, kitab- kitab yang mengumpulkan hadith- hadith hukum, men takhrij hadith- hadith yang terdapat dalam beberapa kitab, men- takhrij hadith- hadith yang terkenal di masyarakat, menyusun kitab athraf, mengumpulkan hadith- hadith disertai dengan menerangkan derajatnya, mengumpulkan hadith- hadith dalam shahih al- Bukhari dan Shahih Muslim, men- tashih sejumlah hadith yang belum di tashih oleh ulama sebelumnya, mengumpulkan hadith- hadith tertentu sesuai topik, dan mengumpulkan hadith dalam jumlah tertentu.[13] C. FAKTOR- FAKTOR PENDORONG KODIFIKASI HADITH Ada tiga hal pokok yang melatar belakangi mengapa khalifah Umar bin Abd Aziz melakukan kodifikasi hadith 1. Beliau khawatir hilangnya hadith- hadith, dengan meninggalnya para ulama di medan perang. Ini adalah faktor utama sebagaimana yang terlihat dalam naskah surat- surat yang dikirimkan kepada para ulama lainnya. 2. Beliau khawatir akan tercampurnya antara hadith- hadith yang shahih dengan hadith- hadith palsu. 3. Dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak sama jelas sangat memerlukan adanya kodifikasi ini.[14] Dengan demikian faktor terpenting pendorong dilakukannya pengkodifikasian hadith adalah untuk menyelamatkan hadith- hadith nabi dari kepunahan dan pemalsuan. D. PENENTU KEBIJAKAN KODIFIKASI DAN ULAMA YANG TERLIBAT DI DALAMNYA Para ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in berbeda pendapat penulisan hadith dalam beberapa pendapat a. Sebagian mereka membencinya, diantaranya adalah Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud serta Zaid bin Tsabit. b. Sebagian lain membolehkannya, diantaranya adalah Abdullah bin Ameer dan Anas, Umar bin Ibnu Abdul Aziz serta kebanyakan para sahabat. c. Kemudian mereka sepakat untuk membolehkannya, dan hilanglah perbedaan. Dan seandainya hadith tidak dibukukan dalam kitab- kitab niscaya akan sirnalah dalam masa akhir terutama dimasa kita sekarang.[15] Sedangkan ulama yang terlibat di dalam kodifikasi hadith antara lain 1. Khalifah Umar bin Abdul Aziz. memerintah mulai tahun 99-101 H. Beliaulah yang memerintahkan adnya pembukuan hadith dengan alasan kuatir lenyapnya ajaran- ajaran nabi berhubung telah banyak ulama dan sahabat yang wafat. Karena itu beliau menginstruksikan kepada para gubernur dari semua daerah Islam supaya menghimpun dan menulis hadith- hadith nabi.[16] 2. Abdul Malik bin Abdul Aziz -150 H di Makkah. 3. Malik bin Anas 93-179 H dan Muhammad bin Ishaq -151 H di Madinah. 4. Muhammad ibnu Abdurrahman bin Dzi’ib 80-158 H di Makkah. 5. Rabi’ bin Sabih -160 H, Sa’id bin Arubah -156 H dan Hammad ibn Salamah -167 H di Basrah. 6. Sufyan al-Thauri 97-161 H di Kufah, Khalid ibn Jamil al-’Abd dan Ma’mar ibn Rashid 95-153 H di Yaman. 7. Abdurrahman bin Amr al-Auza’i 88-157 H di Sham. 8. ’Abdullah ibn al-Mubarak 118-181 H di Khurasan. 9. Hashim ibnu Bushair 104-183 H di Wasit. 10. Jarir ibn Abdul Hamid 110-188 H di Rayy. 11. Abdullah ibn Wahb 125-197 H di Mesir.[17] Proses kodifikasi pada masa ulama Ibnu Abdul Aziz Untuk keperluantadwin ini, sebagai khalifah Umarmemberikan instruksi kepada Abu Bakar ibn Muhammad ibn Hazm, seorang gubernur Madinah agar mengumpulkan dan menghimpun hadith- hadith yang ada pada Amrah binti Abd al- Rahman al- Anshari dan al- Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar. Instruksi untuk mengumpulkan dan mengkodifikasikan hadith juga disampaikan kepada Muhammad ibn Syihab al- Zuhri, seorang ulama besar di negeri Hijaz dan Syam. Al- Zuhri menggalang agar para ulama hadith mengumpulkan hadith di masing- masing daerah mereka, dan ia berhasil menghimpun hadith dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal dunia yang kemudian dikirimkan oleh khalifah ke berbagai daerah untuk bahan penghimpunan hadith selanjutnya.[18] III. ANALISIS Dari pemaparan tentang kodifikasi hadith diatas penulis sangat sependapat dengan usaha pengkodifikasian hadith yang di prakarsai oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dengan alasan- alasan kuat yang diajukan oleh Khalifah Umar penulis menganggap pelaksanaan kodifikasi sangat di perlukan untuk dilakukan. Selain untuk menjaga ajaran- ajaran Nabi Muhammad SAW, pengkodifikasian juga diperlukan untuk menghindari pemalsuan hadith Nabi. Hal ini perlu dilakukan karena hadith merupakan salah satu pedoman umat Islam dalam menjalankan syari’ah. Peran hadith dinilai sangat penting karena kedudukannya sebagai penjelas ayat- ayat yang belum jelas. Banyak ayat- ayat al Qur’an yang memerintahkan melaksanakan ibadah-ibadah tertentu, akan tetapi tidak menjelaskan caranya. Misalnya sholat dan haji. Dan bagaimana cara pelaksanaan sholat dan haji dijelaskan dalam hadith nabi. Dengan demikian pengkodifikasian hadith perlu mendapat apresiasi yang tinggi terhadap pelopor dan pelaksananya. IV. KESIMPULAN Rencana untuk mengumpulkan hadith- hadith nabi pertama dimulai oleh Khalifah Umar bin Khattab. Namun dengan berbagai pertimbangan rencana tersebut batal dilaksanakan. Alasan utamanya adalah karena waktu itu masih berlangsung pengumpulan al Qur’an. Sedangkan kodifikasi secara resmi dilakukan pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz. Khalifah Umar memerintahkan kepada para gubernur untuk mengumpulkan dan melakukan pembukuan terhadap hadith. Ulama yang terlibat di dalam kodifikasi hadith antara lain Khalifah Umar bin Abdul Aziz. memerintah mulai tahun 99-101 H. Abdul Malik bin Abdul Aziz -150 H di Makkah. Malik bin Anas 93-179 H dan Muhammad bin Ishaq -151 H di Madinah. Muhammad bin Abdurrahman bin Dzi’ib 80-158 H di Makkah. Rabi’ bin Sabih -160 H, Sa’id bin Arubah -156 H dan Hammad ibn Salamah -167 H di Basrah. Sufyan al-Thauri 97-161 H di Kufah, Khalid ibn Jamil al-’Abd dan Ma’mar ibn Rashid 95-153 H di Yaman. Abdurrahman bin Amr al-Auza’i 88-157 H di ibn al-Mubarak 118-181 H di Khurasan. Hashim ibnu Bushair 104-183 H di Wasit. Jarir ibn Abdul Hamid 110-188 H di Rayy. Abdullah ibn Wahb 125-197 H di Mesir. DAFTAR PUSTAKA Arifin, Zainul, Studi Hadis, Surabaya Alpha, 2005. al- Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, fath al Bari, juz I. Echols, John, M. Hasan shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta Gramedia,1996. Idri, Studi Hadis, Jakarta Kencana, 2010. Ismail, Syuhudi, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta Gema Insani Press, 1995. Ja’fariyan, Rasul, Penulisan dan Penghimpunan Hadith kajian histori, Lentera, 1992. Najwah,Nurun, Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, Jakarta Radar Jaya, 1996 Thahan, Mahmud, Ulumul Hadith, Studi Komplesitas hadith nabi, penerjemah, Zainul Muttaqin, Yogyakarta Titian Ilahi Press & LP2KI, 1997. Zuhri, M., Hadits Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta Tiara Wacana, 1997. [1] John Echols, M. Hasan shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta Gramedia,1996, 122. [2] Zainul Arifin, Studi Hadis, Surabaya Alpha, 2005, 34. [3] Ibid, 35. [4] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta Gema Insani Press, 1995, 49. [5] M. Zuhri, Hadits Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta Tiara Wacana, 1997,52. [6] Rasul Ja’fariyan, Penulisan dan Penghimpunan Hadith kajian histori, Lentera, 1992, 23. [8] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadis, Surabaya Bina Ilmu, 1993, 85 [10] Idri, Studi Hadis, Jakarta Kencana, 2010, 95. [11] Ibid, 97. [12] Ibid, 99. [13] Ibid, 101. [14] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta Radar Jaya, 1996, 68. [15] Mahmud Thahan, Ulumul Hadith, Studi Komplesitas hadith nabi, penerjemah, Zainul Muttaqin, Yogyakarta Titian Ilahi Press & LP2KI, 1997, 194. [16] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadis, 85. [18] Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asqalani, fath al Bari, juz I, 195.
Padaabad ke-2 H, yakni pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kekhawatiran akan hilangnya Hadis dan bercampurnya dengan hadis-Hadis palsu memunculkan inisiatif khalifah untuk membukukan Hadis tersebut. Akan tetapi pada abad ke-2 ini masih bercampu antara Hadis Rasul, fatwa sahabat dan tabi’in.
Kodifikasihadits secara resmi dimulai pada abad II hijriyah, yakni pada masa pemerintahan khalifah Umar ibn Abd al-Aziz tahun 101 hijriyah. Khalifah Umar melihat, bahwa Rasulullah dan khulafa’ur rasyidin tidak membukukan Hadits Rasul, diantara sebabnya di khawatirkan bercampurnya antara Hadits dan al-Qur’an, sedangkan pada masa khalifah
Maksuddari kodifikasi di sini adalah kodifikasi Hadits Nabi saw dalam bentuk bab-bab dan masuknya Tafsir dalam bab-bab tersebut, fase ini bermula ketika masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, Tafsir masih tercampur dan masuk pada bab-bab dalam kitab hadits dan belum menjadi kitab yang mandiri, di antara ulama yang mengumpulkan Tafsir dengan metode .
  • tzy5tw53zi.pages.dev/741
  • tzy5tw53zi.pages.dev/188
  • tzy5tw53zi.pages.dev/842
  • tzy5tw53zi.pages.dev/171
  • tzy5tw53zi.pages.dev/798
  • tzy5tw53zi.pages.dev/615
  • tzy5tw53zi.pages.dev/631
  • tzy5tw53zi.pages.dev/582
  • tzy5tw53zi.pages.dev/493
  • tzy5tw53zi.pages.dev/837
  • tzy5tw53zi.pages.dev/139
  • tzy5tw53zi.pages.dev/859
  • tzy5tw53zi.pages.dev/410
  • tzy5tw53zi.pages.dev/747
  • tzy5tw53zi.pages.dev/476
  • proses kodifikasi hadis masa khalifah umar bin abdul aziz